Rabu, 10 Agustus 2011

PENGGULAAN

BAB I
PENDAHULUAN


Latar belakang

Pengolahan dan pengawetan pangan merupakan dua proses yang sulit dipisahkan. Dalam praktik sehari-hari, sering kali keduanya memiliki tujuan yang terkesan mirip, walaupun masing-masing sebenarnya memiliki tujuan utama yang berbeda. Contoh kasus, ketika kita akan mengawetkan buah-buahan yang cepat rusak bila lama-lama disimpan pada suhu kamar dengan cara dibuat menjadi manisan buah, maka secara otomatis kita pun telah melakukan pengolahan buah menjadi bentuk yang berbeda dengan bahan bakunya. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa kita telah melakukan upaya pengawetan buah dengan mengolahnya menjadi bentuk lain dengan cara pengeringan dan pemberian bumbu-bumbu. Tujuan utama pengolahan pangan adalah membuat produk baru (bisa bersifat mengawetkan). Contohnya adalah pembuatan manisa atau jam dari nanas yang tujuannya adalah membuat produk baru, tetapi sekaligus menjadikan nanas lebih awet.
Secara alamiah di dalam bahan makanan banyak ditemukan mikroorganisme pembusuk yang dapat memperpendek masa simpan bahan makanan tersebut. Di samping itu, dapat juga ditemukan mikroorganisme patogen yang berbahaya bagi manusia karena penanganan yang tidak higienis. Tujuan utama pengawetan pangan adalah memperpanjang masa simpan. Pengawetan tidak dapat meningkatkan mutu, artinya bahan yang sudah terlanjur busuk, tidak akan menjadi segar kembali. Hanya dari bahan bermutu tinggi pula (dengan tetap mengingat proses pengolahannya, bagus atau tidak). Masing-masing cara pengawetan hanya efektif selama mekanisme pengawetannya masih bekerja. Ada banyak cara untuk mengawetkan makanan, yakni :

1. Menyimpan makanan pada suhu rendah (pada lemari es atau lemari beku) → dapat mengurangi kerusakan makanan dan memperlambat proses pelayuan. Suhu dingin juga membatasi tumbuhnya bakteri yang merugikan.
2. Penyimpanan dengan atmosfer terkendali (dengan kadar karbondioksida 1%-3%) → dapat memperlambat respirasi serta pembusukkannya dengan mengurangi tingkat oksigen dalam udara.
3. Mensterilkan dengan pemanasan → akan menunda pembusukan.






























BAB II
PENGAWETAN MAKANAN

A. Pengertian Pengawetan
Pengawetan makanan adalah cara yang digunakan untuk membuat makanan memiliki daya simpan yang lama dan mempertahankan sifat-sifat fisik dan kimia makanan. Dalam mengawetkan makanan harus diperhatikan jenis bahan makanan yang diawetkan, keadaan bahan makanan, cara pengawetan, dan daya tarik produk pengawetan makanan. Teknologi pengawetan makanan yang dikembangkan dalam skala industri masa kini berbasis pada cara-cara tradisional yang dikembangkan untuk memperpanjang masa konsumsi bahan makanan.
B. Tujuan Pengawetan
Sejak manusia dapat berbudidaya tanaman dan hewan, hasil produksi panen menjadi berlimpah. Namun bahan-bahan tersebut ada yang cepat busuk, makanan yang disimpan dapat menjadi rusak, misalnya karena oksidasi atau benturan. Contohnya lemak menjadi tengik karena mengalami reaksi oksidasi radikal bebas. Untuk menangani hal tersebut, manusia melakukan pengawetan pangan, sehingga bahan makanan dapat dikonsumsi kapan saja dan dimana saja, namun dengan batas kadaluarsa, dan kandungan kimia dan bahan makanan dapat dipertahankan. Selain itu, pengawetan makanan juga dapat membuat bahan-bahan yang tidak dikehendaki seperti racun alami dan sebagainya dinetralkan atau disingkirkan dari bahan makanan.
C. Cara Pengawetan
Cara pengawetan bahan makanan dapat disesuaikan dengan keadaan bahan makanan, komposisi bahan makanan, dan tujuan dari pengawetan. Secara garis besar ada dua cara dalam mengawetkan makanan, yaitu fisik serta biologi dan kimia.



a. Fisik
Pengawetan makanan secara fisik merupakan yang paling bervariasi jenisnya, contohnya adalah:
• Pemanasan. Teknik ini dilakukan untuk bahan padat, namun tidak efektif untuk bahan yang mengandung gugus fungsional, seperti vitamin dan protein.
• Pendinginan. Dilakukan dengan memasukkan ke lemari pendingin, dapat diterapkan untuk daging dan susu.
• Kering dingin.
• Pengasapan. Perpaduan teknik pengasinan dan pengeringan, untuk pengawetan jangka panjang, biasa diterapkan pada daging.
• Pengalengan. Perpaduan kimia (penambahan bahan pengawet) dan fisika (ruang hampa dalam kaleng).
• Pembuatan acar. Sering dilakukan pada sayur ataupun buah.
• Pengentalan dapat dilakukan untuk mengawetkan bahan cair
• Pengeringan, mencegah pembusukan makanan akibat mikroorganisme, biasanya dilakukan untuk bahan padat yang mengandung protein dan karbohidrat
• Pembuatan tepung. Teknik ini sangat banyak diterapkan pada bahan karbohidrat
• Irradiasi, untuk menghancurkan mikroorganisme dan menghambat perubahan biokimia
b. Biologi dan kimia
Pengawetan makanan secara biologi dan kimia secara umum ditempuh dengan penambahan senyawa pengawet, seperti :
• Penambahan enzim, seperti papain dan bromelin
• Penambahan bahan kimia, misalnya asam sitrat, garam, gula.
• Pengasinan, menghambat pertumbuhan mikroorganisme pembusuk makanan
• Pemanisan, menaruh dalam larutan dengan kadar gula yang cukup tinggi untuk mencengah kerusakan makanan
• Pemberian bahan pengawet, biasanya diterapkan pada bahan yang cair atau mengandung minyak. Bahan pengawet makanan ada yang bersifat racun dan karsinogenik. Bahan pengawet tradisional yang tidak berbahaya adalah garam seperti pada ikan asin dan telur asin, dan sirup karena larutan gula kental dapat mencegah pertumbuhan mikroba. Kalsium propionat atau natrium propionat digunakan untuk menghambat pertumbuhan kapang, asam sorbat menghambat pertumbuhan kapang dalam keju, sirup dan buah kering.
D. Prinsip Pengawetan
Prinsip pengawetan pangan ada tiga, yaitu:
• Mencegah atau memperlambat laju proses dekomposisi (autolisis) bahan pangan
• Mencegah kerusakan yang disebabkan oleh faktor lingkungan termasuk serangan hama
• Mencegah atau memperlambat kerusakan mikrobial. Bahan kimia yang digunakan sebagai pengawet juga diharapkan dapat mengganggu kondisi optimal pertumbuhan mikroba. Ditinjau secara kimiawi, pertumbuhan mikroba yang paling rawan adalah keseimbangan elektrolit pada sistem metabolismenya. Karena itu bahan kimia yang digunakan untuk antimikroba yang efektif biasanya digunakan asam-asam organik. Cara yang dapat ditempuh untuk mencegah atau memperlambat kerusakan mikrobial adalah :
1. Mencegah masuknya mikroorganisme (bekerja dengan aseptis)
2. Mengeluarkan mikroorganisme, misalnya dengan proses filtrasi
3. Menghambat pertumbuhan dan aktivitas mikroorganisme, misalnya dengan penggunaan suhu rendah, pengeringan, penggunaan kondisi anaerobik atau penggunaan pengawet kimia
4. Membunuh mikroorganisme, misalnya dengan sterilisasi atau radiasi
BAB III
DASAR – DASAR PENGAWETAN PENGGULAAN

A. Pendahuluan
Gula biasanya digunakan sebagai bahan pembuatan beraneka ragam produk makanan seperti selai, jeli, marmalad, sirup, buah-buahan bergula, dan sebagainya. Penambahan gula selain untuk memberikan rasa manis, juga berfungsi dan terlibat dalam pengawetan. Apabila gula ditambahkan ke dalam bahan pangan dalam konsentrasi yang tinggi (paling sedikit 40% padatan terlarut), maka sebagian air yang ada terikat oleh gula sehingga menjadi tidak tersedia untuk pertumbuhan mikroorganisme dan aktivitas air (aw) dari bahan pangan berkurang. Padahal mikroorganisme memiliki kebutuhan aw minimum untuk pertumbuhannya. Kemampuan gula untuk mengikat air itulah yang menyebabkan gula dapat berfungsi sebagai pengawet.
Perlu diketahui bahwa aktivitas air berbeda dengan kadar air. Bahan dengan kadar air yang tinggi belum tentu memiliki kadar air yang tinggi pula. Sebagai contoh sirup, yang memiliki kandungan air yang tinggi, tetapi aw-nya rendah karena sebagian air yang ada terikat oleh gula.

B. Faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan buah pada produk penggulaan
Beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam pemilihan buah untuk membuat produk penggulaan antara lain :
a. Kandungan pektin buah
Pektin adalah sejenis ’gula’ yang terdapat dalam sayuran dan buah-buahan. Pektin merupakan suatu koloid yang reversibel dan dapat larut dalam air, diendapkan, dipisahkan dan dikeringkan. Pektin berasal dari perubahan protopektin selama proses pemasakan buah, kadar pektin kurang dari 1 % cukup untuk membentuk struktur yang memuaskan. Penambahan gula akan mempengaruhi keseimbangan pektin air yang ada dan meniadakan kemantapan pektin. Pektin akan menggumpal dan membentuk suatu serabut halus, sruktur itu mampu menahan cairan. Makin tinggi kadar pektin makin padat struktur serabut tersebut. Makin tinggi gula makin berkurang air yang ditahan oleh sruktur.
Dalam buah-buahan kandungan pektin biasanya terdapat di bawah kulit buah, di sekitar hati buah (core), dan di sekitar biji buah. Tiap jenis buah mempunyai kandungan pektin yang berbeda. Stroberi, aprikot, peach, ceri, pir, anggur, nanas tergolong buah-buahan berkadar pektin rendah. Buah-buahan ini perlu dikombinasikan dengan buah-buahan berkadar pektin tinggi atau dibubuhi pektin komersial. Apel, plum, dan currant merah tergolong buah berkadar pektin tinggi dan tidak memerlukan tambahan pektin.
Pektin komersial dibedakan atas dua macam, yang berbentuk bubuk berwarna putih dan cairan. Pektin bubuk untuk sari buah yang ditambahkan dalam keadaan dingin, sedangkan pektin cairan ditambahkan dalam sari buah atau campuran gula yang mendidih. Pektin komersial biasanya dibuat dari buah apel pilihan, kulit jeruk, kulit dan hati apel sisa (dari limbah pengalengan apel). Dengan pemanasan pektin yang terkandung dalam buah akan terekstrak keluar. Pemanasan tidak boleh berlebih akan menyebabkan pektin menjadi rusak
b. Tingkat keasaman buah
Tingkat keasaman buah juga penting karena asam akan menarik sari pektin dari buah. Keasaman yang rendah menghasilkan pembentukan jel yang lemah dan mudah hancur. Buah yang kurang asam perlu ditambah dengan air jeruk lemon atau asam sitrun pada saat akan mulai dimasak. Namun, penambahan asam yang terlalu banyak akan menyebabkan keluarnya air dari jel yang terbentuk. Perpaduan gula, asam, dan pektin inilah yang karena dipanaskan membentuk jalinan (matriks) sehingga jeli, selai, dan produk olahan buah yang lain menjadi kental atau pekat.



C. Faktor- faktor yang mempengaruhi ketahanan produk penggulaan
Faktor-faktor yang mempengaruhi ketahanan selai dan produk-produk sejenisnya (jeli, marmalade, dan lain-lain) terhadap mikroorganisme adalah:
1. Kadar gula yang tinggi sekitar 65-73% padatan terlarut.
2. PH rendah, sekitar 3,1-3,5 tergantung pada tipe pektin dan konsentrasi.
3. Aw, berkisar antara 0,75-0,83.
4. Suhu tinggi selama pendidihan atau pemasakan (105-106 oC), kecuali jika diuapkan secara vakum dan dikemas pada suhu rendah.
5. Tegangan oksigen rendah selama penyimpanan (misalnya jika diisikan ke dalam wadah-wadah hermetik dalam keadaan panas).

D. Macam-macam pengawetan dengan proses penggulaan
a. Selai
Selai atau jam adalah produk makanan yang kental atau setengah padat yang dibuat dari campuran 45 bagian berat buah dan 55 bagian berat gula. Selai termasuk dalam golongan makanan semi basah berkadar air sekitar 15 – 40% dengan tekstur yang lunak dan plastis. Pengertian yang lain adalah produk makanan yang terbuat dari lumatan daging buah-buahan dicampur dengan gula dengan perbandingan 3 : 4. Campuran ini kemudian dipanaskan dengan suhu tertentu hingga mencapai kekentalan tertentu. Kadar kekentalan atau padatan terlarut (soluble solid) diukur dengan refraktometer. Untuk selai yang terbuat dari buah anggur, jeuk, nanas, stroberi dan sejenisnya, kadar kekentalannya tidak kurang dari 68% dan untuk selai dari apel tidak kurang dari 65%.
Gula yang ditambahkan berfungsi selain sebagai penambah cita rasa, juga berfungsi sebagai pengawet. Perbandingan gula dengan buah harus tepat. Jika terlalu sedikit gula, buah-buahan tidak akan matang sempurna dan akibatnya selai menjadi mudah berfermentasi dan tidak tahan lama. Sebaliknya jika terlalu banyak gula, selai akan menjadi terlalu kental dan membentuk kristal. Tujuan utama pembuatan selai adalah memanfaatkan buah-buahan segar semusim yang berlimpah hingga tetap dapat dinikmati setiap saat. Jenis buah untuk pembuatan selai adalah buah yang mengandung pektin dan asam yang cukup untuk menghasilkan selai berkualitas baik. Buah yang dapat digunakan antara lain sirsak, nanas, srikaya, stroberi, pepaya, tomat, durian, dan mangga. Untuk memperoleh selai dengan aroma baik sebaiknya digunakan buah dengan tingkat kematangan yang tinggi (benar-benar matang).
Pengolahan selai buah dapat juga menggunakan campuran buah setengah matang dengan buah yang benar-benar matang. Buah setengah matang akan memberi pektin dan asam yang cukup yang dapat memperbaiki konsistensi selai yang dihasilkan, sedangkan buah yang matang penuh akan memberikan aroma yang diinginkan. Untuk mengetahui kandungan pektin pada buah-buahan dapat dilakukan dengan tes alkohol. Buah yang akan diuji diperas air buahnya, selanjutnya ditambah 3 – 4 sendok alkohol ke dalam 1 sendok sari buah. Jika pada campuran banyak terdapat gumpalan kental maka kandungan pektin pada buah tersebut tinggi. Jika gumpalan yang terbentuk sedikit atau agak cair berarti kandungan pektinnya sedikit. Hal lain yang harus diperhatikan dalam pembuatan jam adalah waktu pemasakan jangan terlalu lama, selai atau jam yang dihasilkan akan keras dan terbentuk kristal gula (kadar gula terlalu tinggi > 68 %). Sedangkan bila waktu pemasakan terlalu singkat selai atau jam masih encer sehingga jam tidak dapat dioleskan.
Selain buah, dapat juga digunakan kacang tanah sebagai bahan baku selai. Kacang tanah yang digunakan adalah kacang tanah berkualitas, tidak busuk, memiliki rasa dan bau yang khas, serta bersih dari kotoran. Sebelum diolah menjadi selai, kacang tanah disangrai dan kulitnya dikupas terlebih dahulu. Selai yang bermutu baik mempunyai ciri-ciri tertentu, yakni konsisten, warna cemerlang, distribusi buah merata, tekstur lembut, flavor buah alami, tidak mengalami sineresis (keluarnya air dari gel) dan kristalisasi selama penyimpanan.

b. Jelly
Jelly adalah produk yang hampir sama dengan selai. Kadar padatan terlarutnya tidak kurang dari 65%. Kadar gula optimum yang dapat ditambahkan setelah dipanaskan adalah 65-68 %. Jika lebih dari itu hasil yang akan diperoleh terbentuk kristal sedangkan bila kadar gula terlalu rendah konsistensi jelly menjadi lemah. Karena terbuat dari sari buah-buahan, jeli bersifat jernih, transparan, bebas dari serat dan bahan lain. Jika dikeluarkan dari kemasan tampak seperti agar-agar, lembut, kukuh, dan dapat dengan mudah dikerat dengan pisau. Kandungan pektin sangat penting terutama dalam pembuatan jeli. Untuk itu banyak digunakan pektin komersial. Pendidihan atau pengentalan merupakan tahap penting dalam pembuatan jelly. Pengentalan yang terlalu lama dapat menyebabkan pektin terhidrolisis, penguapan asam dan kehilangan cita rasa serta warna. Pengentalan dihentikan dengan cara identifikasi menggunakan alat refraktometer. Cara lain adalah dengan mencelupkan garpu kedalam cairan yang dimasak kemudian diangkat, cairan tersebut padat dan tidak jatuh.

c. Marmalade
Marmalade adalah produk buah-buahan dengan menjadikannya bubur buah ditambah gula dan asam dengan konsentrasi tertentu dan diberi irisan kulit jeruk/potongan buah yang menjadi ciri khas produk ini dan mengalami pengentalan dengan pemanasan. Seperti pada pembuatan selai dan jeli, faktor pektin, kadar gula, dan asam juga harus diperhatikan sehingga dapat dihasilkan marmalade bermutu baik. Untuk buah yang terlalu banyak seratnya, sebagian bubur disaring untuk mendapatkan sari buah dan dicampur dengan setengah bagian bubur buah lainnya.

d. Manisan Buah
Manisan buah adalah produk buah-buahan yang diolah dengan menambahkan gula dalam konsentrasi tinggi sehingga dapat mengawetkan buah-buahan tersebut. Manisan buah ada dua jenis, yaitu:
1. Manisan buah basah
Manisan buah basah adalah manisan buah yang masih mengandung air gula. Untuk membuat manisan buah basah, setelah dikupas buah direndam dalam larutan garam kemudian dimasukkan ke dalam larutan gula dan ditiriskan.
2. Manisan buah kering
Manisan buah kering tidak mengandung air gula lagi. Untuk membuat manisan kering, setelah buah direndam dalam larutan gula selama semalam, buah ditiriskan lalu ditaburi gula pasir dan dikeringkan dengan cara dijemur di bawah terik matahari. Lamanya menjemur biasanya 3 hari dan tiap hari ditaburi kembali dengan gula pasir. Daya awet manisan buah kering lebih lama dibandingkan manisan buah basah karena manisan buah kering lebih rendah kadar airnya dan lebih tinggi kandungan gulanya. Perendaman dalam larutan kapur beberapa saat dilakukan untuk membuat manisan tetap renyah. Hal ini disebabkan oleh kalsium yang masuk ke dalam jaringan buah.
Buah setelah dikupas akan berubah warna menjadi coklat atau kehitaman. Hal ini disebabkan oleh reaksi kimia dari asam pada buah dengan udara yang dikenal dengan reaksi pencoklatan (browning enzimatis). Untuk menghindari hal tersebut, buah yang sudah dikupas sesegera mungkin direndam dengan air garam yang dapat melindungi buah dari reaksinya dengan udara. Reaksi pencoklatan lebih lanjut dari buah yang sudah direndam dalam larutan gula biasanya dilakukan proses sulfuring. Proses ini bertujuan untuk mempertahankan warna dan cita rasa, asam askorbat (vitamin C) dan vitamin A. Selain itu sebagai bahan pengawet kimia untuk menurunkan atau menghindari kerusakan oleh jasad renik sehingga dapat mempertahankan mutu manisan selama penyimpanan.
Senyawa-senyawa kimia yang dapat digunakan dalam proses sulfuring adalah sulfur dioksida, senyawa-senyawa sulfit, bisulfit, dan metabisulfit. Proses sulfuring dilakukan sebelum buah dibuat manisan dengan uap sulfur dioksida atau dengan cara perendaman dalam larutan sulfur dioksida atau sulfit. Batas maksimum penggunaan sulfur dioksida dalam makanan yang dikeringkan adalah 2000 sampai 3000 mg setiap kg manisan buah. Manisan buah termasuk jenis makanan yang awet karena larutan gula pekat memiliki tekanan osmotik tinggi. Konsentrasi gula yang dibutuhkan untuk mencegah pertumbuhan mikroorganisme bervariasi, tergantung dari jenis jasad renik dan kandungan zat-zat yang terdapat dalam makanan. Pada umumnya larutan gula 70% akan menghentikan pertumbuhan seluruh jasad renik dalam makanan. Buah yang dibuat untuk manisan sebaiknya yang masih muda atau mengkal karena tidak banyak mengandung gula sehingga akan menghasilkan manisan yang baik kecuali untuk buah salak dan buah atap. Untuk kedua jenis buah ini lebih baik dalam keadaan matang.

e. Buah dalam sirup
Buah dalam sirup adalah suatu produk olahan buah-buahan yang dibuat melalui proses blansir, dimasukkan ke dalam wadah steril ditambah larutan gula 40%, diexhausting, ditutup rapat, disterilisasi, dan dilewatkan di air dingin. Produk ini dapat disimpan lebih lama karena telah melalui proses sedemikian rupa. Cara mensterilkan tempat/wadah/ kaleng adalah dengan memanaskan atau merebus wadah selama 30 menit pada suhu 100- 121oC. Proses blansir dilakukan dengan mencelupkan buah dalam air panas/merendam dalam larutan kimia dengan maksud menghilangkan udara dari jaringan buah yang akan diolah dan mengurangi terbentuknya endapan. Tujuan lain adalah mengurangi jumlah mikroorganisme, mempermudah pengisian dalam wadah, serta menonaktifkan enzim yang menyebabkan perubahan warna menjadi coklat.
Setelah diblansir, buah disusun rapi dalam wadah lalu dituang sirup gula sampai batas 1-2 cm dari bawah tutup wadah. Sebelum ditutup dilakukan exhausting dengan cara memanaskan kaleng dan isinya dengan merebus sampai suhu bagian tengah kaleng mencapai 80oC selama 5 menit. Exhausting adalah kegiatan untuk mengurangi tekanan dalam wadah yang disebabkan karena pengembangan pada waktu proses pemanasan. Tanpa proses exhausting, buah yang dikalengkan akan hancur setelah pemanasan akibat tekanan yang terlalu tinggi. Setelah exhausting, wadah langsung ditutup rapat dan dilanjutkan sterilisasi kira-kira 30 menit pada suhu 100oC. Setelah sterilisasi, wadah segera didinginkan dengan air mengalir. Buah dalam sirup yang dikalengkan dapat disimpan sampai satu tahun. Jenis buah-buahan yang sering dikalengkan adalah rambutan, leci, pisang, jambu biji, nanas, apel, pir, dan mangga. Kadang-kadang dalam satu kaleng bisa ditemukan campuran buah. Selain buah, juga terdapat larutan gula sebagai media, umumnya berkadar 40%. Dalam pembuatan sirup gula ditambahkan sedikit asam sitrat untuk menambah rasa.

f. Sirup
Sirup adalah sejenis minuman ringan berupa larutan gula kental dengan cita rasa beraneka ragam. Berbeda dengan sari buah, penggunaan sirup tidak langsung diminum tetapi harus diencerkan dulu karena kandungan gula dalam sirup tinggi, sekitar 65%. Untuk menambah rasa dan aroma, sering ditambah rasa, pewarna, asam sitrat, atau asam tartarat.
Berdasarkan bahan baku utamanya, sirup dibedakan menjadi:
1. Sirup essence adalah sirup yang cita rasanya ditentukan oleh essence yang ditambahkan, misalnya essence jeruk, mangga, nanas, dan sebagainya.
2. Sirup glukosa, hanya mempunyai rasa manis saja, sering disebut gula encer. Sirup ini biasanya tidak langsung dikonsumsi, tapi lebih merupakan bahan baku industri minuman, sari buah, dan lain-lain. Sirup glukosa dapat dibuat dari tepung kentang, tepung jagung, tepung beras, dan lain-lain.
3. Sirup buah adalah sirup yang cita rasanya ditentukan oleh bahan dasarnya yaitu buah segar, misalnya jambu biji, markisa, nanas, dan sebagainya.

g. Produk Lainnya
1. Conserves
Conserves adalah produk yang dibuat dari campuran buah-buahan termasuk buah jeruk dan seringkali ditambahkan kacang dan kismis hingga menjadi lebih padat dari selai.
2. Preserves
Preserves merupakan buah kecilkecil yang utuh atau potonganpotongan buah yang besar yang dimasak dengan sirup hingga jernih lalu ditambahkan sirup atau sari buah yang kental.
3. Mentega buah (fruit butter)
Mentega buah terbuat dari daging buah, dimasak hingga menjadi sangat halus dan lunak lalu dibubuhi bumbu-bumbu. Mentega buah ini paling sedikit mengandung gula dibandingkan produk lainnya.
4. Madu buah (fruit honey)
Madu buah sekilas tampak seperti madu. Madu buah dibuat dari pekatan sari buah yang dimasak hingga mencapai kekentalan seperti madu.
















DAFTAR PUSTAKA
Sri R. Dwiari, dkk. Teknologi Hasil Pangan. Jakarta: Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional, 2008.
http://www.wikipedia.com/pengawetan-pangan.


Senin, 17 Januari 2011

PANKREATITIS

1. PENGERTIAN

Pankreatitis (inflamasi pankreas) merupakan penyakit yang serius pada pankreas dengan intensitas yang dapat berkisar mulai dari kelainan yang relatif ringan dan sembuh sendiri hingga penyakit yang berjalan dengan cepat dan fatal yang tidak bereaksi terhadap berbagai pengobatan. (Brunner & Suddart, 2001; 1338).
Pankreatitis adalah kondisi inflamasi yang menimbulkan nyeri dimana enzim pankreas diaktifasi secara prematur mengakibatkan autodigestif dari pankreas. (Doengoes, 2000;558)
Pankreatitis akut adalah inflamasi pankreas yang biasanya terjadi akibat alkoholisme dan penyakit saluran empedu seperti kolelitiasis dan kolesistisis. (Sandra M. Nettina, 2001).
Pankreatitis adalah reaksi peradangan pankreasari kelainan yang relatif ringan dan sembuh sendiri hingga penyakit yang berjalan dengna cepat dan fatal yang tidak bereaksi terhadap berbagai pengobatan. Terdapat beberap teori tentang penyebab dan mekanisme terjadinya pankreatitis yang umumnya dinyatakan sebagai otodigesti pankreas.Umumnya semua teori menyatakan bahwa duktus pankreatikus tersumbat, disertai oleh hipersekresi enzim-enzim eksokrin dari pankreas tersebut. Enzim-enzim ini memasuki saluran empedu dan diaktifkan di sana dan kemudian bersama-sama getah empedu mengalir balik (refluks) ke dalam duktus pankreatikus sehingga terjadi pankreatitis.

2. PATOFISIOLOGI
Dalam keadaan normal pankreas terlindung dari efek enzimatik enzim digestinya sendiri. Enzim ini disintesis sebagai zimogen yang inaktif dan diaktivasi dengan pemecahan rantai peptid secara enzimatik. Enzim proteoloitik (tripsin, kemotripsin, karboksipeptidase, elastase) dan fospolipase termasuk dalam kelompok ini. Enzim digestif yang lain seperti amilase dan lipase disintesis dalam bentuk inaktif, disimpan dalam bentuk inaktif dan disimpan dalam butir zimogen sehingga terisolasi oleh membran fosfolipid didalam sel asinine
Selain itu terdapat inhibitor didalam jaringan pankreas. Cairan pankreas dan serum sehinggga dapat mengaktifasi protoase yang diaktifasi terlalu dini. Dalam proses aktifasi enzim didalam pankreas peran penting terletak pada tripsin yang mengaktifasi semu zimogen pankreas yang terlihat dalam proses auto digesti (kemotripzinogen, proelastase, fosfolipase A).
Hanya lipase yang aktif yang tidak tergantung pada tripsin. Aktifasi zimogen secara normal dimulai dari enterokinase di duodenum. Ini mengakibatkan mulanya aktivasi tripsin yang kemudian mengaktivasi zimogen yang lain.Jadi diduga bahwa aktifasi dini tripsinogen menjadi tripsin adalah pemicu bagi kaskade auto digestif pann peristaltik. Rasa sakit yang disebabkan oleh pankreatitis sering disertai dengan muntah.

3.ETIOLOGI
Faktor-faktor etiologi pankreatitis antara lain:
a. Batu saluran empedu
b. Alkoholisme berat
c. Obat, seperti steroid, deuretik tiazid
d. Hiperlip
e. Hiperparatiroidisme
f. Asidosis metabolik
g. Uremia
h. Imunologi
i. Pankreatitis gastrointestinal karena ketidakseimbangan hormon
j. Defisiensi protein
k. Toksin

4.KLASIFIKASI
Berdasarkan The Second International Symposium on the Classification of
Pancreatitis (Marseilles, 1980), pankreatitis dibagi atas:
a. Pankreatitis akut (fungsi pankreas kembali normal lagi).
Pankreatitis akut atau inflamasi pada pankreas terjadi akibat tercernanya
organ ini oleh enzim-enzimnya sendiri, khususnya oleh tripsin.(Brunner &
Suddart).
b. Pankreatitis kronik (terdapat sisa-sisa kerusakan yang permanen).
Pankreatitis kronik merupakan kelainan inflamasi yang ditandai oleh kehancuran
anatomis dan fungsional yang progresif pada pankreas.(Brunner & Suddart).
Penyempurnaan klasifikasi dilakukan tahun 1992 dengan sistem klasifikasi
yang lebih berorientasi klinis; antara lain diputuskan bahwa indikator beratnya pankreatitis akut yang terpenting adalah adanya gagal organ yakni adanya renjatan, insufisiensi paru (PaO2 = 60 mmHg), gangguan ginjal (kreatinin > 2 mg/dl) dan perdarahan saluran makan bagian atas (> 500 ml/24 jam). Adanya penyulit lokal seperti nekrosis, pseudokista atau abses harus dimasukkan sebagai komponen sekunder dalam penentuan beratnya pankreatitis.Sebelum tumbulnya gagal organ atau nekrosis pankreas, terdapat 2 kriteria dini yang harus diukur yakni kriteria Ranson dan APACHE II.

A. PANKREATITIS AKUT
Pengertian
Pankreatitis akut adalah suatu proses peradangan akut yang mengenai pankreas dan ditandai oleh berbagai derajat edema, perdarahan dan nekrosis pada sel-sel asinus dan pembuluh darah. Mortalitas dan gejala klinis bervariasi sesuai derajat proses patologi. Bila hanya terdapat edema pankreas, mortalitas mungkin berkisar dari 5% sampai 10%, sedangkan perdarahan masif nekrotik mempunyai mortalitas 50% sampai 80%.

Klasifikasi Pankreatitis Akut
Pankreatis akut memiliki keparahan yang berkisar dari kelainan yang relatif ringan dan sembuh dengan sendirinya hingga penyakit yang dengan cepat menjadi fatal serta tidak responsif terhadap berbagai terapi. Berdasarkan pada beratnya proses peradangan dan luasnya nekrosis parenkim dapat dibedakan:
a) Pankreatitis akut tipe interstitial
Secara makroskopik, pankreas membengkak secara difus dan tampak pucat.Tidak didapatkan nekrosis atau perdarahan, atau bila ada, minimal sekali.Secara mikroskopik, daerah intersitial melebar karena adanya edema ekstraselular, disertai sebaran sel-sel leukosit polimorfonuklear (PMN).Saluran pankreas dapat terisi dengan bahan-bahan purulen.Tidak didapatkan destruksi asinus.Meskipun bentuk ini dianggap sebagai bentuk pankreatitis yang lebih ringan, namun pasien berada dalam keadaan sakit yang akut dan berisiko mengalami syok, gangguan keseimbangan cairan serta elektrolit dan sepsis.

b) Pankreatitis akut tipe nekrosis hemoragik
Secara makroskopik tampak nekrosis jaringan pankreas disertai dengan uh-pembuluh darah sehingga mengakibatkan perdarahan dan dapat mengisi ruangan retroperitoneal.Bila penyakit berlanjut, dapat timbul abses atau daerah-daerah nekrosis yang berdinding, yang subur untuk timbulnya bakteri sehingga dapat menimbulkan abses yang purulen.Gambaran mikroskopis adalah adanya nekrosis lemak dan jaringan pankreas, kantong-kantong infiltrat yang meradang dan berdarah ditemukan tersebar pada jaringan yang rusak dan mati.Pembuluh-pembuluh darah di dalam dan di sekitar daerah yang nekrotik menunjukkan kerusakan mulai dari inflamasi peri vaskular, vaskulitis yang nyata sampai nekrosis dan trombosis pembuluh-pembuluh darah.

Etiologi
Pankreatitis akut terjadi akibat proses tercernanya organ ini oleh enzim-enzimnya sendiri, khususnya oleh tripsin. Delapan puluh persen penderita pankreatitis akut mengalami penyakit pada duktus billiaris; meskipun demikian, hanya 5% penderita batu empedu yang kemudian mengalami nekrosis. Batu empedu memasuki duktus koledokus dan terperangkap dalam saluran ini pada daerah ampula Vateri, menyumbat aliran getah pankreas atau menyebabkan aliran balik (refluks) getah empedu dari duktus koledokus ke dalam duktus pankreastikus dan dengan demikian akan mengaktifkan enzim-enzim yang kuat dalam pankreas. Spasme dan edema pada ampula Vateri yang terjadi akibat duodenitis kemungkinan dapat menimbulkan pankreatitis.



Patofisiologi
Pankreatitis akut merupakan penyakit seistemik yang terdiri dari dua fase.Pertama, fase awal yang disebabkan efek sistemik pelepasan mediator inflamasi, disebut sindrom respons inflamasi sistemik atau systemic inflamatory response syndrome (SIRS) yang berlangsung sekitar 72 jam.Gambaran klinisnya menyerupai sepsis, tetapi tidak ada bukti-bukti infeksi.Kedua, fase lanjut merupakan kegagalan sistem pertahanan tubuh alami yang menyebabkan keterlibatan sampai kegagalan multiorgan, yang biasanya dimulai pada awal minggu kedua.Kegagalan fungsi salah satu organ merupakan penanda beratnya penyakit dan buruknya faktor prognosis.

Manifestasi klinis
Pasien datang dengan keluhan nyeri abdomen hebat, melintang dan tembus ke bagian punggung.Biasanya disertai muntah.Rasa nyeri dapat menjalar ke seluruh abdomen, umumnya tidak dapat diatasi dengan obat analagesik biasa.Tidak jarang pasien datang dengan kembung atau mengarah ke tanda-tanda ileus paralitik.Pada fase lanjut, pasien datang dalam keadaan sindrom syok atau dengan hemodinamik yang tidak stabil.

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pankreatitis akut bersifat simtomatik dan ditujukan untuk mencegah atau mengatasi komplikasi. Semua asupan per oral harus dihentikan untuk menghambat stimulasi dan sekresi pankreas. Pelaksanaan TPN (total parental nutrition) pada pankreatitis akut biasanya menjadi bagian terapi yang penting, khusus pada pasien dengan keadaan umum yang buruk, sebagai akibat dari stres metabolik yang menyertai pankreatitis akut. Pemasangan NGT (Naso Gastro Tube) dengan pengisapan (suction) isi lambung dapat dilakukan untuk meredakan gejala mual dan muntah, mengurangi distensi abdomen yang nyeri dan ileus paralitik serta untuk mengeluarkan asam klorida.
 Penanganan Nyeri. Pemberian obat pereda nyeri yang adekuat merupakan tindakan yang esensial dalam perjalanan penyakit pankreatitis akut karena akan mengurangi rasa nyeri dan kegelisahan yang dapat menstimulasi sekresi pankreas.
 Perawatan Intensif. Koreksi terhadap kehilangan cairan serta darah dan kadar albumin yang rendah diperlukan untuk mempertahankan volume cairan serta mencegah gagal ginjal akut.
 Perawatan Respiratorius. Perawatan respiratorius yang agresif diperlukan karena risiko untuk terjadinya elevasi diafragma, infiltrasi serta efusi dalam paru dan atelektasis cenderung tinggi.
 Drainase Bilier. Pemasangan drainase bilier dalam duktus pankreatikus melalui endoskopi telah dilakukan dengan keberhasilan yang terbatas. Terapi ini akan membentuk kembali aliran pankreas dan akibatnya, akan mengurangi rasa sakit serta menaikkan berat badan.
 Penatalaksanaan Pasca-akut. Antasid dapat diberikan ketika gejala akut pankreatitis mulai menghilang. Pemberian makanan makanan per oral yang rendah lemak dan protein dimulai secara bertahap. Kafein dan alkohol tidak boleh terdapat dalam makanan pasien.
 Pertimbangan Gerontik. Pankreatitis akut dapat mengenai segala usia; meskipun demikian, angka mortalitas pankreatitis akut meningkat bersamaan dengan pertambahan usia.

Tindakan Bedah
Tindakan segera untuk eksplorasi bedah pada umumnya tidak dilakukan, kecuali pada kasus-kasus berat di mana terdapat:
1) Perburukan sirkulasi dan fungsi paru sesudah beberapa hari terapi intensif.
2) Pada kasus pankreatitis hemoragik nekrosis yang disertai dengan rejatan yang sukar diatasi.
3) Timbulnya sepsis.
4) Gangguan fungsi ginjal yang progresif.
5) Tanda-tanda peritonitis.
6) Bendungan dari infeksi saluran empedu.
7) Perdarahan intestinal yang berat.
Tindakan bedah juga dapat dilakukan sesudah penyakit berjalan beberapa waktu (kebanyakan sesudah 2-3 minggu perawatan intensif) bilamana timbul penyulit seperti pembentukan pseudokista atau abses, pembentukan fistel, ileus karena obstruksi pada duodenum atau kolon, pada perdarahan hebat retroperitoneal atau intesti.

A. PANKREATITIS KRONIS
Pengertian
Pankreatitis kronis merupakan kelainan inflamasi yag ditandai oleh kehancuran anatomis dan fungsional yang progresif pada pankreas. Dengan digantikannya sel-sel pankreas yang normal oleh jaringa ikat akibat serangan pankreatitis yang berulang-ulang, maka tekanan dalam pankreas akan meningkat. Hasil akhirnya adalah obstruksi mekanis duktus pankreatikus, koledokus dan duodenum. Di samping itu akan terjadi pula atrofi epitel duktus tersebut, inflamasi dan destruksi sel-sel pankreas yang melaksanakan fungsi sekresi.

Etiologi
Konsumsi alkohol dalam masyarakat barat dan malnutrisi yang terdapat di seluruh dunia merupakan penyebab pankreatitis kronis. Pada alkoholisme, insiden pankreatitis 50 kali lebih tinggi dibandingkan insidens dalam populasi bukan peminum. Konsumsi alkohol dalam waktu lama menyebabkan hipersekresi protein dalam sekret pankreas. Akibatnya akan terbentuk sumbat protein dan batu (kalkuli) dalam duktus pankreas. Alkohol juga memiliki efek toksik yang langsung pada sel-sel pankreas. Kemungkinan terjadinya kerusakan sel-sel ini akan lebih parah pada pasien-pasien yang kandungan protein dalam makanannya buruk atau yang kandungan lemaknya terlampau tinggi atau rendah.

Manifestasi klinis
Insidens pankreatitis kronis meningkat pada laki-laki dewasa dan ditandai oleh serangan nyeri hebat di daerah abdomen bagian atas dan punggung, disertai muntah. Serangan nyeri sering sangat hebat sehingga pemberian preparat narkotik, sekalipun dengan dosis tinggi, tidak mampu meredakan nyeri tersebut. Resiko ketergantungan opiat akan meningkat pada pankreatitis karena sifatnya yang kronis dan hebatnya rasa nyeri.
Penurunan berat badan merupakan masalah utama pada pankreatitis kronis. Biasanya disebabkan oleh penurunan asupan makanan akibat anoreksia atau perasaan takut bahwa makan akan memicu serangan berikutnya. Malabsorbsi mengakibatkan proses pencernaan bahan makanan khususnya protein dan lemak akan terganggu. Defekasi menjadi lebih sering dan feces menjadi berbuih (steatore) akibat gangguan pencernaan lemak.

Evaluasi Diagnostik
ERCP (endoscopic retrograde cholangiopancreatography) merupakan pemeriksaan yang paling tepat untuk menegakkan diagnostik pankreatitis kronis. Tes toleransi glukosa dapat mengevaluasi fungsi sel-sel pulau Langerhans pankreas; informasi ini diperlukan untuk mengambil keputusan apakah operasi reseksi pankreas diperlukan. Hasil abnormal yang merupakan indikasi penyakit diabetes dapat ditemukan. Berbeda dengan penderita pankreatitis akut, kadar amilase serum dan jumlah sel darah putih mungkin tidak mengalami peningkatan yang berarti.

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pankreatitis kronis bergantung pada kelaian yang mungkin menjadi penyebab pada setiap pasien. Terapi ditujukan untuk mencegah serta menangani serangan akut, mengurangi rasa nyeri serta gangguan rasa nyaman dan menangani insufisiensi eksokrin serta endokrin yang terdapat pada pankreatitis.
 Nyeri dan gangguan rasa nyaman pada abdomen diatasi dan dicegah dengan cara seperti yang dalakukan pada pankreatitis akut.
 Diabetes mellitus yang terjadi akibat disfungsi sel-sel pulau Langerhans pankreas dapat diatasi dengan diet, pemberian insulin atau obat-obat hipoglikemik oral.
 Pembedahan umumnya dilakukan untuk mengurangi nyeri abdomen serta gangguan rasa nyaman, memulihkan drainase sekresi pankreas dan mengurangi frekuensi serangan pankreatitis akut.
 Pankreatikojejunostomi dengan anastomosis side-to-side atau penyambungn duktus pankreatikus dengan jejunum memungkinkan drainase sekresi pankreas ke dalam jejunum.
 Ototransplantsi atau implantasi sel-sel pulau Langerhans dari pasien sendiri pernah diupayakan untuk memelihara fungsi endokrin pankreas.

B. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1) Scan-CT : menentukan luasnya edema dan nekrosis
2) Ultrasound abdomen: dapat digunakan untuk mengidentifikasiinflamasi pankreas, abses, pseudositis, karsinoma dan obstruksi traktus bilier.
3) Endoskopi : penggambaran duktus pankreas berguna untuk diagnosa fistula, penyakit obstruksi bilier dan striktur/anomali duktus pankreas. Catatan : prosedur ini dikontra indikasikan pada fase akut.
4) Aspirasi jarum penunjuk CT : dilakukan untuk menentukan adanya infeksi.
5) Foto abdomen : dapat menunjukkan dilatasi lubang usus besar berbatasan dengan pankreas atau faktor pencetus intra abdomen yang lain, adanya udara bebas intra peritoneal disebabkan oleh perforasi atau pembekuan abses, kalsifikasi pankreas.
6) Pemeriksaan seri GI atas : sering menunjukkan bukti pembesaran pankreas/inflamasi.
7) Amilase serum : meningkat karena obstruksi aliran normal enzim pankreas (kadar normal tidak menyingkirkan penyakit).
8) Amilase urine : meningkat dalam 2-3 hari setelah serangan.
9) Lipase serum : biasanya meningkat bersama amilase, tetapi tetap tinggi lebih lama.
10) Bilirubin serum : terjadi pengikatan umum (mungkin disebabkan oleh penyakit hati alkoholik atau penekanan duktus koledokus).
11) Fosfatase Alkaline : biasanya meningkat bila pankreatitis disertai oleh penyakit bilier.
12) Albumin dan protein serum dapat meningkat (meningkatkan permeabilitas kapiler dan transudasi cairan kearea ekstrasel).
13) Kalsium serum : hipokalsemi dapat terlihat dalam 2-3 hari setelah timbul penyakit (biasanya menunjukkan nekrosis lemak dan dapat disertai nekrosis pankreas).
14) Kalium : hipokalemia dapat terjadi karena kehilangan dari gaster; hiperkalemia dapat terjadi sekunder terhadap nekrosis jaringan, asidosis, insufisiensi ginjal.
15) Trigliserida : kadar dapat melebihi 1700 mg/dl dan mungkin agen penyebab pankreatitis akut.
16) LDH/AST (SGOT) : mungkin meningkat lebih dari 15x normal karena gangguan bilier dalam hati.
17) Darah lengkap : SDM 10.000-25.000 terjadi pada 80% pasien. Hb mungkin menurun karena perdarahan. Ht biasanya meningkat (hemokonsentrasi) sehubungan dengan muntah atau dari efusi cairan kedalam pankreas atau area retroperitoneal.
18) Glukosa serum : meningkat sementara umum terjadi khususnya selama serangan awal atau akut. Hiperglikemi lanjut menunjukkan adanya kerusakan sel beta dan nekrosis pankreas dan tanda aprognosis buruk. Urine analisa; amilase, mioglobin, hematuria dan proteinuria mungkin ada (kerusakan glomerolus).
19) Feses : peningkatan kandungan lemak (seatoreal) menunjukkan gagal pencernaan lemak dan protein (Dongoes, 2000).


















DAFTAR PUSTAKA

http://www.scribd.com/doc/11488794/Pankreatitis-Benny
http://www.indonesiaindonesia.com/f/10725-pankreatitis-akut/
http://www.scribd.com/doc/38224376/Penatalaksanaan-Pankreatitis-Akut
http://www.news-medical.net/health/Acute-Pancreatitis-Diagnosis-%28Indonesian%29.aspx
http://www.ahliwasir.com/products/270/0/Pankreatitis-Kronis/

Sabtu, 02 Oktober 2010

Penyimpanan Bahan Makanan Ubi Kayu ( Singkong ) serta Kerusakannya



BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang Masalah
     Makanan yang baik dan berkualitas bukan ditentukan oleh penampilan dan cita rasanya saja, tetapi lebih ditekankan pada nilai gizi dan kalori yang terkandung dalam makanan. Dewasa ini banyak sekali masalah - masalah sosial yang timbul, seperti kurangnya pangan dan yang jadi sorotan saat ini adalah masalah kurangnya gizi pada masyarakat Indonesia. Mungkin karena secara umum menu makanan masyarakat Indonesia itu masih lebih banyak mengandung kalori dari pada unsur gizinya. Berdasarkan pokok permasalahan di atas, ada baiknya jika upaya meningkatkan kadar gizi makanan masyarakat Indonesia dilakukan dengan menggunakan singkong sebagai salah satu mediatornya.
     Singkong merupakan salah satu tanaman multiguna yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari - hari. Singkong sudah biasa dimanfaatkan oleh masyarakat luas untuk diproses menjadi berbagai produk olahan secara tradisional, baik untuk memenuhi keperluan sehari maupun dikomersilkan. Meskipun hanya merupakan warisan dari nenek moyang, namun usaha pemanfatan singkong perlu dilestarikan dan dikembangkan lebih lanjut menjadi produk - produk baru yang lebih modern, eksklusif dan berkadar gizi tinggi, dengan sentuhan tekhnologi pangan yang tepat.
     Dengan penerapan teknologi pangan secara tepat, singkong dapat diproses menjadi produk - produk olahan dan awetan yang makin bervariasi, bernilai guna, dan berdaya guna dan berhasil guna. Sifat tanaman singkong yang mudah tumbuh dan bereproduksi serta bukan merupakan tanaman musiman, sangat mendukung komtinuitas penyediaan bahan.

B.      Jumlah Prokduksi
     Tanaman singkong merupakan tanaman yang tidak manja. Dilahan yang tergolong kritis pun singkong masih mampu tumbuh dan produksi. Budidaya tanaman singkong di Indonesia sudah cukup maju dan berkembang. Menurut departemen pertanian, sistem budidaya tanaman singkong secara tradisional menghasilkakan 8 - 9 ton/ ha. Dengan sistem galur - galur atau tumpang sari menghasilkan 22 - 24 ton/ ha. Sementara, dengan sistem mukibat ( persilangan antara singkong karet yang berumbi besar namun pahit dengan singkong jenis yang lain ) mengahasilkan 45 ton/ ha.
     Namun, umtuk memenuhi kebutuhan singkong dalam negeri, Indonesia sendiri masih kekurangan sekitar 5 juta ton per tahun. Oleh karenanya, Departemen Pertanian melakukan pengembangan dengan cara :
§    Mendatangkan tanaman singkong dari negara lain
§    Membuka areal penanaman singkong diseluruh provinsi di Jawa dan luar Jawa
§    Mengembangkan sistem budi daya yang dapat melipatgandakan hasil panen.
Pada tahun 1978, areal penanaman singkong mencapai luas 1.382.902 ha dengan produksi sebesar 12.902.011 ton. Adapun perinciannya adalah sebagai berikut :
§    Keperluan industri                   : 244.000         ton
§    Keperluan konsumsi                : 10.356.000    ton
§    Keperluan makanan ternak     : 241.000         ton
§    Keperluan ekspor                    : 856.000         ton
§    Terbuang percuma ( sisa )      : 1.205.000      ton
C.      Perlunya Penanganan penyimpanan
     Ketika masyarakat primitif beralih dari cara bercocok tanam yang selalu berpindah ke cara bertani yang menetap di suatu tempat, mulailah disadari perlunya penyimpanan hasil panen. Sekurang - kurangnya untuk persediaan satu musim tanam.
     Para ahli arkeologi mengemukakan bahwa penyimpanan hasil pertanian bermula pada periode Neolitik zaman batu sekitar 8.000 sebelum masehi. Adanya gangguan, baik binatang maupun manusia terhadap milik petani, adanya masa - masa kritis atau paceklik, atau sebaliknya karena keadaan panen yang melimpah, adanya kesadaran mengenai daya tahan berbagai komoditas pertanian, serta adanya keperluan benih, menuntut kesadaran yang lebih tinggi lagi akan perlunya penyimpanan.
     Dalam berbagai Kitab Suci diberitakan bahwa Nabi Yusuf menafsirkan mimpi raja Qifhfir Al Aziz, bahwa di seluruh kerajaan Mesir perlu menanam gandum selama 7 tahun berturut - turut dan menyimpannya sebagai cadangan pangan. Sistem penyimpanan yang diajarkan Nabi Yusuf ini telah menyelamatkan Mesir dari bencana kelaparan. Mulai saat inilah penyimpanan bahan pangan berfungsi lebih luas lagi yaitu sebagai pengendali persediaan makanan.
     kemenangan bangsa Vietnam dalam peperangan yang berlangsung sangat lama tidak lain berkat dukungan makanan yang disimpan sedemikian rupa, di rawa - rawa dan di tempat - tempat yang tersembunyi. Tentara Amerika waktu itu tidak menduga bahwa potongan - potongan “ kayu “ yang tertimbun di lumpur adalah batang sagu yang siap dijadikan ransum sewaktu - waktu bila diperlukan dalam keadaan darurat. Pengalaman - pengalaman itu, ditambah dengan pengalaman bangsa Indonesia sendiri dalam mewujudkan swasembada pangan memberikan pelajaran akan pentingnya peranan penyimpanan.
BAB II
KARAKTERISTIK BAHAN MAKANAN
A.     Taksonomi dan Morfologi
     Dalam sistematika (taksonomi ) tumbuhan, tanaman singkong diklasifikasikan sebagai berikut :
Kingdom               : Plantae ( tumbuh - tumbuhan )
Division                : Spermatophyta ( tumbuhan berbiji )
Subdivisio : Angiospermae
Kelas                    : Dicotyledonae ( biji berkeping dua )
Ordo                     : Eurphorbiales
Famili                   : Euphorbiaceae
Genus                   : Manihot
Spesies                 : Manihot esculenta Crantz sin. Manihot utilisina Phohl

     Hasil panen utama dari tanaman singkong adalah umbinya. Umbi singkong merupakan tempat untuk menyimpan persediaan cadangan makanan.
Umumnya umbi singkong berbentuk bulat panjang, yang makin ke ujung ukurannya makin kecil. Pada dasarnya, umbi singkong terdiri dari 3 lapis, yaitu :
1.    Lapisan kulit luar
           merupakan lapisan yang tipis, mudah robek dan berwarna cokelat, cokelat merah atau cokelat abu - abu.
2.    Lapisan kulit dalam
           merupakan suatu lapisan kulit yang memiliki ketebalan antara 1mm - 3 mm, berwarna rose, kuning ataupun putih.
3.    Lapisan atau bagian daging
           merupakan bagian terbesar ( memilki persentase terbesar ) dari umbi singkong. Umumnya memiliki warna putih ataupun kuning.
     Sementara, sumbu ( jawa : sorot ) yang ada dibagian tengah dari lapisan daging umbi, berfungsi sebagai saluran untuk mengirimkan makanan hasil fotosintesis daun ke dalam akar. Akar yang menyimpan makanan atau cadangan makanan dalam jumlah banyak, akan menggembung atau membengkak sehingga membentuk umbi.
B.      Kandungan Unsur - Unsur Bahan
     Di dalam daging umbi singkong terkandung dua jenis unsure, yaitu unsure gizi yang bermanfaat bagi kesehatan dan unsure pengganggu ( HCN atau asam sianida ) yang bersifat racun dan mempengaruhi rasa singkong.
1.    Kandungan Unsur Gizi
           Singkong kurang memenuhi syarat untuk dimanfaatkan sebagai makanan pokok ( pengganti ) karena kadar unsur gizi yang terkandung di dalamnya sangat kecil, seperti terlihat pada table berikut :

No.
Nama Unsur
Kadar Gizi/ 100 gr Bahan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
Energi
Karbohidrat
Protein
Lemak
Mineral
Zat besi
Kalsium
Fosfor
Vitamin C
Vitamin B
Air
146        kal
34,7       gr
1,2         gr
0,3         gr
1,3         gr
0,0007  mg
0,003    mg
0,004    mg
0,003    mg
0,006    mg
62,5      gr

  sumber : Data Analisis Bahan Makanan, Fak. Kedokteran UI, Jakarta, 1992

2.    Kandungan Unsur Pengganggu
           Kandungan unsur penggangg yang bersifat racun ( HCN ) berbeda untuk setiap jenis atau varietas, seperti terlihat pada tabel berikut :

No.
Jenis / Varietas
Kadar HCN (mg/kg umbi)
Warna Umbi
Rasa
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
Gading
Adira I
W-1705
W-1548
Valenca
Mangi
Betawi
Singapura
Basiorao
Adira IV
Muara
Tapikuru
Bogor
Adira II
SPP
31,9
27,5
10
34
39
30
30
60
80
68
100
130
100
123,7
150 - 206
Putih
Kuning
Putih
Putih
-
-
-
-
-
Putih
Putih
-
-
Putih
-

Enak
Enak
Enak
Enak
Enak
Enak
Enak
Enak
Agak pahit
Pahit
Pahit
Pahit
Pahit
Pahit
Sumber : Dirjen Tanaman Pangan, Departemen  Pertanian, Jakarta, 1989

     Kadar HCN dalam umbi singkong dapat mempengaruhi cita rasa dan masa segar singkong. Menurut Departeman Perindustrian (1990), berdasarkan kadar HCN dalam umbi, singkong dibedakan menjadi empat kelompok, yaitu :
a.    Singkong Manis
           singkong manis memiliki kandungan HCN yang sangat rendah, hanya sebesar 0,04 % atau 40 mg HCN/kg singkong.
singkong manis banyak dikonsumsi secara langsung atau digunakan untuk jajanan tradisional. jenis singkong manis antara lain adalah Gading, Adira I, Mangi, Betawi, Mentega, Randu Ranting dan Kaliki.
b.    Singkong Agak Beracun
           singkong jenis ini memiliki kandungan HCN antara 0,05 % - 0,08 % atau 50 - 80 mg HCN/kg singkong. Singkong memiliki rasa agak pahit an aman dikonsumsi bila sudah diolah ( direbus, dikukus, digoreng, dsb ).



c.     Singkong Beracun
           singkong beracun memiliki kandungan HCN antara 0,08 % - 0,10 % atau 80 - 10 mg HCN/kg singkong. memiliki rasa pahit dan aman dikonsumsi bila sebelum diolah, dicuci, dan direndam dalam air terlebih dahulu.
d.    Singkong Sangat Beracun
           singkong termasuk kategori sangat beracun apabila mengandung HCN lebih dari 0,10 % atau 100 mg HCN/kg singkong. memiliki rasa yang sangat pahit dan aman dikonsumsi apabila sudah diproses menjadi tepung (dikeringkan) terlebih dahulu.

               Berdasarkan hasil penelitian para ahli Teknologi Pangan pada Balai Besar Penelitian Industri Hasil Pertanian, dapat diketahui bahwa kandungan HCN dapat dikurangi melalui beberapa proses yang meliputi :
1)      Perendaman
        HCN mudah larut dalam air, terlebih air yang mengalir.
2)      Pengolahan
        HCN mudah menguap bila terkena panas, misalnya pada proses perebusan, pengukusan, penggorengan, dsb.
3)      Fermentasi
        Singkong akan berubah menjadi tape.
4)      Pengeringan
        HCN mudah menguap pada proses pengeringan, misalnya pada proses pembuatan gaplek, tepung tapioka dan tepung kasava.
5)      Ekstrasi Pati
        Ekstraksi pati dalam air, misalnya pada pembuatan tepung kanji ataupn tapioka.


C.      Karakteristik Tanda - Tanda Bahan
            Tanda - tanda singkong yang mengandung HCN tinggi adalah sebagai berikut :
1.      Ada rasa pahit ( makin tinggi kandungan HCN, rasa makin pahit )
2.      Bila dipotong - potong dengan pisau (logam), bekas potongan akan berwarna biru ( terbentuk senyawa logam )
3.      Makin tinggi kandungan HCN, singkong menjadi makin mudah rusak (poyo).
                        Adapun tanda - tanda singkong yang mengandung tepung atau pati tinggi, antara lain sebagai berikut :
1.      Bila direbus menjadi bening dan bukan putih mekar
2.      Rasa atau tekstur lebih kenyal.
D.     Daerah Asal dan Penyebarannya
                        Singkong atau ubi kayu ( Manihot esculenta Crantz sin. Manihot utilisina Phohl ) sudah banyak ditanam hampir diseluruh dunia. Mengenai asal tanaman singkong tersebut, ada beberapa ahli botani yang menyatakan bahwa tanamn singkong berasal dari Amerika beriklim tropis. Namun, seorang ahli botani Rusia, Nikolai Ivonavick Vavilov, memastikan bahwa tanaman singkong tersebut berasal dari Brasil ( Amerika Selatan ). Mula - mula disebarkan ke Afrika, kemudian Madagaskar, India, Tiongkok dan masuk Indonesia pada tahun 1852 melalui Kebun Raya Bogor, dan kemudian tersebar keseluruh wilayah Indonesia sekitar tahun 1914 - 1918. Saat itu, Indonesia dilanda krisis pangan dan singkong dijadikan sebagai alternatif pengganti makanan pokok. Pada tahun 1968, Indonesia menjadi negara penghasil ubi kayu terbesar ke-5 di dunia.
                        Di Indonesia, singkong memiliki peran penting sebagai makanan pokok ke-3 setelah padi dan jagung. Peranan singkong menjadi semakin besar berkaitan dengan daya gunanya dibidang industri, baik industri kecil, menengah, maupun industri besar tidak terbatas pada industri  di dalam negeri, tetapi juga di negara lain sebagai komoditas ekspor andalan.
E.      Jenis atau Varietas
            Dalam rangka mencari varietas unggul, puluhan bibit singkong unggul telah didatangkan dari berbagai negara lain. Beberapa sifat unggul singkong yang diharapkan antara lain adalah sebagai berikut :
1.      Hasil produksi tinggi, lebih dari 30 ton/ha
2.      Kadar karbohidrat (pati) antara 35 % - 40 %
3.      Umur panen pendek ( kurang dari 8 bulan, sudah dapat dipanen )
4.      Tahan terhadap hama dan penyakit
5.      Rasa bervariasi sesuai kebutuhan dan rasa enak dengan kadar HCN kurang dari 80 mg/kg.
Catatan :
                        Sebagai bahan industri, singkong yang memiliki kadar HCN lebih tinggi dari 100 mg/kg, masih dapat diterima karena derajat keputihannya jauh lebih tinggi.
                        Tanaman singkong yang dikembangkan di Indonesia terdiri dari berbagai jenis atau varietas dengan keunggulan masing - masing. Ada tujuh jenis atau varietas unggul singkong yang digunakan untuk membuat tepung tapioka, seperti terlihat pada table berikut :

No.
Varietas
Hasil Produksi/ha                       (ton)
Kadar Pati
Kadar HCN/kg
Rasa
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Adira I
Adira II
Malang I
Malang II
Basiorao
Bogor
Mangi
20 - 35
20 - 35
52,4 - 59,6
31,5
30
40
20
45,2
40,8
32 - 36
32 - 36
31,2
30,9
30 - 37
27,5
123,7
-
-
80
100
30
Enak
Pahit


Agak pahit
Pahit
Enak
Sumber : Departeman Pertanian, Jakarta, 1997

                        Adapun ciri - ciri atau deskripsi dari ketujuh varietas unggul singkong tersebut dapat dilihat pada table berikut :

No.
Varietas
Deskrpsi
1.
Adira I

a.      Asal
Persilangan antara varietas Mangi dan Ambon.
b.      Daun
1)      Bentuk seperti jari agak lonjong
2)      Pucuuk daun berwarna cokelat, tangkai daun bagian bawah berwarna merah muda dan bagian atas berwarna merah
c.       Batang
1)      Tinggi batang 1 - 2 m
2)      Btang muda berwarna hijau muda dan batang tua berwarna cokelat kekunung - kuningan.
d.      Umbi
1)      Warna kulit luar cokelat dan bagian dalam berwarna kuning
2)      Warna daging umbi kuning
3)      Hasil produksi 22 ton/ha
4)      Kadar  HCN 27,5 mg/kg singkong
5)      Kadar pati 45%
e.      Umur panen
Umur panen 7 - 10 bulan
2.
Adira 2
a.      Asal
Persilangan antara varietas Mangi dan Ambon
b.      Daun
1)      Berbentuk seperti jari agak lonjong dan gemuk
2)      Pucuk daun berwarna ungu , tangkai daun bagian atas berwarna merah muda dan bagian bawah hijau muda.
3)      Tulang daun bagian atas berwarna merah muda dan bagian bawah hijau muda.
c.       Batang
1)      Tinggi batang 2 - 3 m
2)      Batang berwarna hijau muda dan batang tua putih berwarna putih kecokelatan - kecokelatan.
d.      Umbi
1)      Warna kulit luar putih kecukelatan - cokelatan dan bagian dalam berwarna ungu muda.
2)      Warna daging umbi putih
3)      Hasil produksi 22 ton/ha
4)      Kadar HCN 124 mg/kg singkong
5)      Kadar pati 41%
3.
Malang I
a.     Asal
Persilangan antara klon CM 1015 - 19 dan CM 849 - 5
b.     Batang
1)      Tinggi batang lebih dari 2 meter
2)      Warna batang hijau tua
c.     Umbi
1)      Warna kulit luar cokelat mud keputih - putihan, dan bagian dalam putih
2)      Warna daging umbi putih kekuning - kuningan
3)      Hasil produksi 52,4 - 59,6 ton/ha
4)      Kadar pati 32 - 36 %
d.     Umur panen
Umur panen 9 -10 bulan.
4.
Malang II
a.    Asal
Persilangan antara klon CM 922 - 2 dan CM 507 - 37
b.    Batang
1)      Tinggi batang lebih dari 2 meter
2)      Warna batang cokelat kemrah - merahan.
c.    Umbi
1)      Warna kulit luar cokelatan dan bagian dalam putih
2)      Warna daging umbi putih
3)      Hasil produksi 31,5 ton/ha
4)      Kadar pati 32 - 36 %
d.    Umur panen
Umur panen  8 - 10 bulan.
5.
Basiorao
a.     Asal
Dari Brasil
b.     Daun
1)      Berbentuk kerucut, lebar dan bersirip 7 - 9 helai. Perbandingan lebardan panjang sirip adalah 1 : 4
2)      Pucuk daun berwarna cokelat muda
3)      Pusat tulang daun berwarna merah muda dan ujungnya hijau kekuning - kuningan
4)      Tulang daun bafian atas berwarna merah muda dan bagian bawah hijau muda.
c.     Batang
1)      Batang relative tinggi, batang yang sudah tua mudah rebah dan yang tumbuh di dataran tinggi batangnya bercabang
2)      Batang muda berwarna hijau muda dan batang tua berwarna cokelat keabu -abuan , kulit bagian dalam berwarna hijau tua.
d.     Umbi
1)      Umbi gemuk dan bertangkai pendek
2)      Hasil produksi 30 ton/ha
3)      Kadar HCN lebih dari 80 mg/kg singkong
4)      Kada pati 31,2 %
5.
Bogor
a.      Asal
Berasal dari Bogor, hasil persilangan antara varietas Maleka dan Basiorao
b.      Daun
1)      Pucuk daun tidak berbulu , berwarna cokelat muda
2)      Bersirip 7 - 9 helai , panjang dan sempit , ujung runcing. Perbandingan lebar dan panjang 1 : 6
3)      Pangkal daun berbulu , pusat tulang daun berwarna hijau muda dan ujungnya berwarna hijau kekuningan
4)      Pangkal tangkai daun berwarna merah , bagian tengah berwarna hijau kekuningan dan bagian ujung berwarna merah.
c.       Batang
1)        Ukuran batang agak besar, tinggi dan sedikit bercabang
2)        Batang muda berwarna hijau muda, batang tua berwarna cokelat keabu -abuan dan kulit dalam berwarna hijau tua.
d.      Umbi
1)        Gemuk, tidak bertangkai, dan saling berhimpitan dengan yang lain.
2)        Rasa pahit
3)        Hasil produksi 40 ton/ha
4)        Kadar HCN lebih dari 100 mg/kg singkong
5)        Kadar pati 30,9%
7.
Mangi
a.      Asal
Berasal dari Brasil
b.      Daun
1)      Pucuk daun tidak berbulu , berwarna hijau muda
2)      Bersirip 7 - 9 helai, berbentuk seperti pita , ujung agak lebar, ujung daun runcing
3)      Perbandingan lebar dan panjang sirip terbesar 1 : 6
4)      Tulang daun berwarna kuning sedikit merah muda sampai hijau muda.
c.       Batang
1)      Batang berukuran sedang, tinggi dan bercabang
2)      Batang muda berwarna hijau, batang tua berwarna cokelat keabu - abuan, dan kulit dalam berwarna hijau tua.
d.      Umbi
1)      Umbi panjang dan bertangkai
2)      Hasil produksi 20 ton/ha
3)      Kadar HCN 30 mg/kg singkong
4)      Kadar pati 30 - 37 %
Sumber : Departemen Pertanian , Jakarta , 1997 

BAB III
KERUSAKAN BAHAN MAKANAN

A.     Kerusakan Biologi dan Mikrobiologi
     Seperti telah diketahui, bahwa mikroba perusak bahan pangan adalah bakteri, kapang, dan khamir. Faktor - faktor  yang mempengaruhi pertumbuhan ketiga jenis mikroba tersebut berbeda satu sama lain, diantaranya adalah :
§    aktivitas air ( aw ) bahan pangan
§    suhu penyimpanan dan suhu pengolahan
§    ketersediaan oksigen
§    PH bahan dan
§    kandungan zat gizi bahan pangan
     Masing - masing jenis mikroba tersebut memiliki kondisi optimum spesifik bagi pertumbuhannya. Walaupun virus sangat erat kaitannya dengan sanitasi makanan, akan tetapi virus tidak dapat berkembang pada bahan pangan yang telah diproses. Virus lebih merupakan jasad renik yang tumbuh dan berkembang pada makhluk hidup. Karena itu virus tidak dibicarakan dalam penyimpanan.
     Aw bahan pangan adalah air bebas yang terkandung dalam bahan pangan, yang dapat digunakan oleh mikroba untuk pertumbuhannya. Dibandingkan dengan bakteri, maka kapang adalah mikroba yang paling tahan terhadap kekeringan. Dengan demikian, bahan pangan kering atau bahan pangan berkadar air relatif rendah. Bakteri pembentuk spora, seperti Bacillus sp dan Clostridium sp perlu pengendalian aw yang lebih ketat selama penyimpanan bahan pangan. Hal ini karena spora dapat mulai bergerminasi pada aw yang dibutuhkan untuk pertumbuhan bakteri itu sendiri.
                 Kerusakan mikrobiologis seringkali disertai dengan produksi racun yang berbahaya bagi kesehatan manusia. Selain bahaya racun, pertumbuhan seperti kapang akan mengakibatkan penurunanya tumbuh benih yang disimpan, penurunan mutu gizi, dan dapat pula menyebabkan penyusutan kuantitatif ( kehilangan jumlah atau bobot hasil pertanian, akibat penanganan pasca panen yang tidak memadai, dan juga karena adanya gangguan biologi ), karena bahan - bahan yang telah rusak oleh mikroba dapat menjadi sumber kontaminasi bagi bahan lain yang masih segar.
     Kerusakan karena serangga, tikus dan burung lebih banyak menyebabkan penyusutan kuantitatif. serangga dan binatang pengerat dapat menyerang bahan pangan baik di lapangan maupun di gudang. Hama tikus dapat menyebabkan penyusuutan kualitatif (kerusak yang terjadi akibat perubahan - perubahan biologi, fisik, kimia maupun biokimia ), karena kotoran, rambut dan urine tikus merupakan media yang baik untuk pertumbuhan mikroba, serta menimbulkan bau yang tidak enak. Proses fisiologis dari berbagai hasil pertanian dapat menyebabkan keruusakan kualitatif dan kuantitatif. Secara kuantitatif kerusakan fisiologis karena respirasi dapt dinyatakan dengan susut bahan kering. Kerusakan jenis ini sangat erat hubungannya dengan kondisi lingkungan seperti suhu, kelembaban, dan tekanan udara. Komposisi atmosfir pun akan mempengaruhi kerusakan bahan pangan.
B.      Kerusakan Fisik dan Mekanik
     Bahan pangan hasil pertanian akan mengalami perubahan fisik setelah dipanen, sebagai akibat dari pengaruh luar dan pengaruh dari dalam bahan pangan itu sendiri.
     Yang dimaksud dengan pengaruh luar, yaitu karena faktor - factor mekanis, seperti tekanan fisik ( dropping atau jatuhan, shunting atau gesekan ) dan juga adanya vibrasi atau getaran, benturan antara bahan dan alat atau wadah selama perjalanan dan distribusi. Kerusakan fisik yang disebabkan oleh pengaruh luar yang lain adalah serangan serangga selama penyimpanan. Penggunaan suhu yang terlalu tinggi dalam pengolahan bahan pangan menyebabkan warna, tekstur dan penampakan yang menyimpang, dan akan menurunkan mutu organoleptis dan mutu gizinya seperti berkurangnya kandungan vitamin.
     Pengaruh dari dalam sini termasuk adanya reaksi - reaksi enzimatis sehingga berpengaruh terhadap warna bahan, perubahan kekentalan bahan pangan, serta tekstur bahan pangan.
C.      Kerusakan Kimiawi
                 Perubahan kimiawi mencakup terjadinya reaksi pencoklatan, baik enzimatis maupun non - enzimatis, terjadinya proses ketengikan baik oksidatif maupun hidrolisis, yang akan menyebabkan penurunan mutu, baik mutu organoleptis maupun mutu gizinya.
D.     Perubahan Komposisi Selama Penyimpanan
1.      Respirasi
Suhu tinggi akan mempercepat respirasi
Kadar air tinggi akan mempercepat respirasi
2.      Perubahan Karbohidrat
Terbentuknya bau asam dan apek dari karbohidrat karena kegiatan mikro organisme
3.      Perubahan Protein
Nitrogen total tidak mengalami perubahan akan tetapi nitrogen dalam protein menurun.








BAB IV
PENYIMPANAN BAHAN MAKANAN

A.     Syarat penyimpanan
     Pada masa pertumbuhan, kandungan karbohidrat umbi singkong semakin meningkat dan mencapai titik optimal saat umbi siap dipanen. Tanda - tanda bahwa singkong sudah waktunya dipanen adalah pertumbuhan daun mulai berkurang; warna daun mulai mongering dan sebagian besar mulai rontok; dan umur tanaman sudah cukup ( tergantung varietasnya ). Apabila sampai berumur 12 bulan belum dipanen, singkong tidak bertambah besar, malah kualitasnya akan berkurang. Bahkan, apabila pada umur 13 bulan singkong belum dipanen juga, kadar air umbi akan meningkat, sedangkan kadar protein, tepung, dan HCN menurun.
     Untuk mengangkat singkong dari dalam tanah ( panen ) diperlukan cara yang tepat agar tidak banyak singkong yang rusak ( patah atau tertebas cangkul ). Pada lahan yang gembur, panen singkong dilakukan dengan cara dicabut dengan tangan. Umbi yang tertinggal dapat diambil dengan menggunakan cethok atau cangkul. Sementara, pada lahan berat ( tanah yang mengandung lempung ), singkong dicabut dengan menggunakan kayu atau bambu sebagai pengungkit. Kayu pengungkit diikatkan pada pangkal batang dan salah satu bagian kayu pengungkit diangkat dengan tangan sampai umbinya terangkat ke permukaan tanah.
    
Gambar : Sketsa pengungkit dari kayu / bambu. Pangkal A diangkat dengan tangan sampai umbi terangkat ke permukaan tanah.

       Sebernarnya singkong tidak termasuk tanaman musiman, artinya dapat dipanen kapan saja asal sudah mencapai usia yang cukup, yaitu ± 9 bulan. Namun kenyataannya, panen sering dilakukan pada saat tanaman berumur 7 - 10 bulan. Di Indonesia, masa tanam dan panen dilaksanakan dengan mengikuti musim pergantian dengan tanaman lainnya. Hal ini membuat industri - industri pengolah terpaksa menyesuaikan pada kondisi tersebut dengan upaya pengawetan sementara terhadap singkong sambil menunggu waktu panen berikutnya. Dengan demikian, pengadaan bahan dapat dilakukan sepanjang tahun.
     Singkong hanya memiliki segar sangat singkat yaitu 2 x 24 jam. Oleh karena itu, perlu diupayakan tindakan untuk mengamankan singkong agar sampai saatnya digunakan masih tetap dalam kondisi baik/ segar. Upaya yang digunakan adalah memanen singkong secara bertahap atau mengawetkan singkong segar. Memanen singkong secara bertahap, artinya setiap kali panen hanya sebatas kebutuhan saja, tidak secara keseluruhan dipanen sekaligus. Apabila singkong sudah terlanjur dipanen seluruhnya, perlu segera dilakukan sortasi ( pemisahan ) antara singkong yang mulus ( tidak ada bagian yang terbuka ) dan yang cacat. Singkong yang cacat ( terbuka pada kulit dan dagingnya ) diproses terlebih dahulu atau diawetkan dengan cara dikupas dan direndam air. Air rendaman harus diganti setiap hari. Cara ini dapat digunakan untuk mengawetkan singkong selama 3 - 4 minggu, namun dengan resiko kehilangan kadar patinya. Dengan perlakuan semacam ini, kadar HCN-nya semakin berkurang karena selama perendaman HCN ( sianida ) akan terlepas dan larut dalam air perendaman.
B.      Metode atau Cara Penyimpanan
     Cara penyimpanan singkong segar telah banyak diteliti dan dipraktekkan. Tanpa perlakuan khusus singkong segar hanya tahan sekitar 48 jam. Cara - cara penyimpanan singkong segar adalah sebagai berikut :
1.      Singkong segar dipotong sepanjang 5 cm pada tangkainya. Diangin - anginkan supaya getahnya kering. Singkong - singkong tersebut lalu diatur berjejer rapat dalam bak batu bata yang ditumpuk tanpa menggunakan semen dan dasarnya sudah ditutup pasir kering setebal 5 cm. Bak batu bata berukuran 1,0 m x 1,0 m x 1,0 m. Jejeran singkong tersebut ditutup lagi dengan pasir setinggi 5 cm, begitu seterusnya sampai pasir terakhir berjarak 10 cm dari tepi bahan. Setelah itu di atas pasir ditutup lagi dengan batu bata dan yang terakhir ditutup seng. Pada penyimpanan seperti ini, bak batu bata harus didirikan pada tempat yang aman serta tidak terkena air hujan. singkong segar dapat tahan 1 - 2 bulan.
2.      Singkong segar dalam keadaan utuh ditumpuk di atas lapisan jerami, rumput atau daun - daun kering. Diameter tumpukan jerami 1,5 m, tebalnya 15 cm. Sekitar 300 - 500 kg singkong segar ditimbun di atas alas tersebut, kemudian ditutup dengan lapisan jerami dan ditutup lagi dengan tanah hingga ketebalan 15 cm. Sekeliling timbunan dibuat saluran drainase agar tidak terendam air. Keadaan cuaca sangat mempengaruhi daya tahan singkong yang disimpan. Perlu diupayakan agar tidak terlalu basah dimusim hujan. Daya simpan singkong dengan cara ini dapat mencapai 3 bulan. ( lihat gambar di bawah ).



                                                                 Tanah penutup ( 10 - 15 cm )
Alas jerami (15 cm)                            Lapisan jerami penutup (15 cm)


saluran air                                                          Tumpukan Singkong
                                                                                  Permukaan tanah


Gambar : Sketsa penyimpanan singkong di dalam tanah
3.    Singkong disimpan dalam peti ( kapasitas 20 kg ) yang diisi serbuk gergaji. Kadar air serbuk gergaji dipertahankan sebesar 50 %, agar kelembabannya terkendali sehingga singkong awet. Kondisi penyimpanan terlalu kering akan cepat terjadi kerusakan fisiologis, sebaliknya bila terlalu basah menyebabkan kebusukan. Seringkali digunakan sekam padi ( pesak ) sebagai peganti serbuk gergaji. Tetapi sekam di nilai kurang baik karena daya serap dan distribusi air kurang merata. Cara penyimpanan singkong segar seperti ini, pada keadaan yang terlindung dari sinar matahari, dan suhu sekitar 26 oC dapat mempertahankan singkong segar selama satu bulan.
4.    Singkong segar yang telah dibersihkan dicelup dalam larutan fungisida thiobendazole, atau fungisida lainnya seperti Maneb dan benomyl. Kemudian dikemas dalam kantong plastik polietilen. Pengemasan ini akan membantu mengawetkan singkong dari kerusakan fisiologis, sedangkan pencelupan dalam fungisida dapat mencegah kerusakan oleh jasad renik. Perlu diperhatikan agar singkong benar - benar segar ( 2 - 3 jam setelah panen ) pada saat di kemas. Cara penyimpanan seperti ini banyak digunakan di pasar - pasar swalayan. Daya tahan singkong segar sekitar 1 - 3 bulan.  


C.      Tujuan Penyimpanan
     Penyimpanan merupakan proses untuk mempertahankan daya simpan dan mutu ubi kayu.  Tujuannya adalah untuk :
a. Mempertahankan daya simpan ubi kayu.
b. Menambah nilai ekonomis umbi ubi kayu.
c. Memudahkan pengolahan lebih lanjut.
d. Umbi ubi kayu terhindar dari kerusakan akibat busuk, jamur, dan lain-lainnya
D.     Tanda - Tanda Kerusakan
a.  Secara mikrobiologis
Ditandai dengan pertumbuhan kapang disertai dengan timbulnya bau dan perubahan warna.
b.  Secara biologis
Ditandai dengan adanya bekas gigita/lubang 2.
c.  Secara kimia
Disertai dengan pola pola warna kebiru-biruan, coklat serta kehitaman oleh enzim atau bukan. Penyimpanan singkong pada suhu yang cukup tinggi dapat mengakibatkan warna biru kehitaman yang disebut kepoyohan. kepoyohan dapat terjadi sampai kebagian dalam umbi, khususnya bila terjadi irisan atau pecah. Kepoyoan ini karena aktifitas enzim yang membentuk terjadinya oksidasi polifenol dan glukosida linamarin yang mengandung senyawa HCN.

gambar : singkong poyo
d.  Hama dan Penyakit
§         Hama
1.  Uret (Xylenthropus)
Ciri                          :  berada dalam akar dari tanaman.
Gejala                     : tanaman mati pada yg usia muda, karena akar batang                                  dan umbi  dirusak.
Pengendalian          : bersihkan sisa-sisa bahan organik pada saat tanam dan                              atau  mencampur sevin pada saat pengolahan lahan.
2.      Tungau merah (Tetranychus bimaculatus)
Ciri                        : menyerang pada permukaan bawah daun dengan                                        menghisap cairan daun tersebut.
Gejala                   : daun akan menjadi kering.
Pengendalian       : menanam varietas toleran dan menyemprotkan air                                                  yang  banyak.
§         Penyakit
1.       Bercak daun bakteri
Penyebab         : Xanthomonas manihotis atau Cassava Bacterial                                           Blight/CBG.
Gejala              : bercak-bercak bersudut pada daun lalu bergerak dan
              mengakibatkan pada daun kering dan akhirnya mati.
Pengendalian  : menanam varietas yang tahan, memotong atau                                            memusnahkan bagian tanaman yang sakit, melakukan                                   pergiliran tanaman  dan sanitasi kebun.
2.       Layu bakteri (Pseudomonas solanacearum E.F. Smith)
Ciri                   : hidup di daun, akar dan batang.
Gejala              : daun yang mendadak jadi layu seperti tersiram air                                                   panas. Akar, batang dan umbi langsung membusuk.
Pengendalian  : melakukan pergiliran tanaman, menanam varietas                                                   yang tahan seperti Adira 1, Adira 2 dan Muara,                                               melakukan pencabutan dan pemusnahan tanaman                                           yang sakit berat.
3.      Bercak daun coklat (Cercospora heningsii)
Penyebab           : cendawan yang hidup di dalam daun.
Gejala                : daun bercak-bercak coklat, mengering, lubang-lubang                                  bulat kecil dan jaringan daun mati.
Pengendalian     : melakukan pelebaran jarak tanam, penanaman varietas                              yang tahan, pemangkasan pada daun yang sakit serta                                  melakukan  sanitasi kebun.
4.      Bercak daun konsentris (Phoma phyllostica)
Penyebab           : cendawan yang hidup pada daun.
Gejala                : adanya bercak kecil dan titik-titik, terutama pada daun                                muda.
Pengendalian     : memperlebar jarak tanam, mengadakan sanitasi kebun                               dan memangkas bagian tanaman yang sakit .
                                    
e.      Pengaruh beberapa perlakuan terhadap penurunan kadar HCN pada singkong ( Manihot esculenta Crantz )
        Kegagalan untuk mengenali signifikansi tertentu untuk mengolah makanan tradisional dapat mengakibatkan masalah dalam keamanan makanan. Ubi kayu atau singkong ( Manihot esculenta Crantz ) mengandung antinutrisi yang berupa glokosida cyanogenik yang dapat menghasilkan HCN, suatu racun yang sangat toksik dan glukosida ini diberi nama Linamarin. Namun demikian singkong, masih merupakan makanan pokok bagi sekitar 500 juta penduduk dunia. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari kadar HCN pada ubi kayu sebelum perlakun ( pencucian dan perebusan, pencucian dan pengukusan, perendaman dan perebusan, perendaman dan pengukusan serta penjemuran ), mempelajari kadar HCN sesudah perlakuan dan mempelajari perbedaan kadar HCN  pada ubi kayu sebelum dan sesudah perlakuan. Perlakuan ini bersifat eksperimental, dengan rancang bangun penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari lima kelompok perlakuan yaitu :
§         pencucian dan perebusan       ( A1 )
§         pencucian dan pengukusan    ( A2 )
§         perendaman dan perebusan   ( B1 )
§         perendaman dan pengukusan ( B2 )
§         penjemuran                             ( C )
        Sedangkan jumlah ulangan sebanyak lima kali ( r =5 ) sehingga jumlah unit percobaan sebanyak 25. Untuk mengetahui adanya perbedaan antara sebelum dan sesudah perlakuan digunakan uji t dua sampel berpasangan. Sedangkan untuk menganalisis perbedaan hasil tiap perlakuan dilakukan analisa dengan uji Anova satu = 0,05 dan dilanjutkan uji beda LSD alfa arah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada perbedaan kadar HCN antara sebelum dan sesudah perlakuan ( A1, A2, B1, B2, dan C ). Sedangkan hasil analisis variasi satu arah / Oneway Anova menghasilkan taraf signifikansi 0,000 ( p < 0,05 ) yang berarti ada perbedaan kadar HCN pada ubi kayu antar masing - masing perlakuan.
        Penurunan kadar HCN tertinggi terdapat pada perlakuan B1 ( perendaman dan perebusan ) yaitu sebesar 89 % sehingga kadar HCN  menjadi 23,4 mg/kg ubi kayu. Penurunan kadar HCN terendah terdapat pada perlakuan C ( penjemuran ) yaitu sebesar 69,6 % dan kadar HCN yang masih tersisa 62,3 mg/kg ubi kayu. Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh kadar HCN dalam ubi kayu yang jika dikonsumsi dalam jangka lama dapat mengakibatkan terjadinya penyakit gondok. Selain itu perlu diinformasikan kepada masyarakat luas tentang cara pegolahan singkong yang benar sesuai dengan penelitian ini sehingga dapat mengurangi atau menghilangkan resiko.























BAB V
PENUTUP

            Berdasarkan sumber – sumber yang telah dipelajari, penulis dapat menarik kesimpulan agar pembaca lebih mengerti dan mengkaji lebih dalam akan isi makalah. Penulis juga menyampaikan saran terhadap isi makalah.

A.     Kesimpulan
1.      penyimpanan bahan pangan berfungsi lebih luas lagi yaitu sebagai pengendali persediaan makanan.
2.      Singkong  memiliki daya tahan segar yaitu 2 x 24 jam.
3.      Syarat penyimpanan singkong adalah Singkong harus dalam kondisi baik atau segar, tidak ada luka atau cacat.
4.      Tujuan penyimpanan adalah agar bahan tidak rusak karena gangguan serangga, pathogen, dan lingkungan
5.      Penyimpanan singkong pada suhu yang cukup tinggi dapat mengakibatkan warna biru kehitaman yang disebut kepoyohan.
6.      Cara atau metode penyimpanan singkong ada 4 cara :
F     Singkong segar dipotong, panjang 5 cm, diangin- anginkan,dijejer.
F     Singkong segar dalam keadaan utuh ditumpuk di atas lapisan jerami, rumput atau daun - daun kering
F     Singkong disimpan dalam peti ( kapasitas 20 kg ) yang diisi serbuk gergaji
F     Singkong segar dibersihkan, dicelup dalam larutan fungisida thiobendazole, lalu dikemas dalam kantong plastik polietilen.
B.      Saran
1.      Untuk mencegah kerusakan pada singkong, bisa dilakukan dengan cara mengeringkan permukaan kulit, disimpan di tempat yang sejuk, kering dan terlindung dari panas. Sedangkan untuk pengendalian terhadap pembusukan à buang umbi yang busuk & diupayakan agar permukaan umbi kering (aerasi lancar).
2.      Meskipun bahan makanan menjadi tahan lama dalam penyimpanan namun, harus diperhatikan batas waktu simpan batas kadarluarsanya.
























DAFTAR PUSTAKA

Wijandi, S. 1985. Teknik Pengolahan dan Penyimpanan Hasil Panen. Agro Industri Press, Fateta IPB, Bogor.
Lies Suprapti, Ir. 2002. Pembuatan Tepung Kasava dan Pemanfaatannya. Kanisius, Yogyakarta.
Lies Suprapti, Ir. 2005. Pembuatan Tepung Terigu dan Pemanfaatannya. Kanisius, Yogyakarta.
Rahmat Rukmana, Ir. 1997. Ubi Kayu, Budi Daya dan Pasca panen. Kanisius, Yogyakarta.
Rizal Syarief dan Hariyadi Halid. 1993. Teknologi Penyimpanan Pangan. Arcan,  Jakarta.
Adnan M. 1982. Aktivitas Air dan Kerusakan Bahan Pangan. Penerbit Agritech, Yogyakarta














LAMPIRAN


                                   
  Varietas adira l        Singkong varietas mentega          Varietas mentega


                                          
Singkong varietas lanting                             Singkong varietas adira l

                                        
Singkong varietas randu                   Singkong varietas kaliki