Rabu, 10 Agustus 2011

PENGGULAAN

BAB I
PENDAHULUAN


Latar belakang

Pengolahan dan pengawetan pangan merupakan dua proses yang sulit dipisahkan. Dalam praktik sehari-hari, sering kali keduanya memiliki tujuan yang terkesan mirip, walaupun masing-masing sebenarnya memiliki tujuan utama yang berbeda. Contoh kasus, ketika kita akan mengawetkan buah-buahan yang cepat rusak bila lama-lama disimpan pada suhu kamar dengan cara dibuat menjadi manisan buah, maka secara otomatis kita pun telah melakukan pengolahan buah menjadi bentuk yang berbeda dengan bahan bakunya. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa kita telah melakukan upaya pengawetan buah dengan mengolahnya menjadi bentuk lain dengan cara pengeringan dan pemberian bumbu-bumbu. Tujuan utama pengolahan pangan adalah membuat produk baru (bisa bersifat mengawetkan). Contohnya adalah pembuatan manisa atau jam dari nanas yang tujuannya adalah membuat produk baru, tetapi sekaligus menjadikan nanas lebih awet.
Secara alamiah di dalam bahan makanan banyak ditemukan mikroorganisme pembusuk yang dapat memperpendek masa simpan bahan makanan tersebut. Di samping itu, dapat juga ditemukan mikroorganisme patogen yang berbahaya bagi manusia karena penanganan yang tidak higienis. Tujuan utama pengawetan pangan adalah memperpanjang masa simpan. Pengawetan tidak dapat meningkatkan mutu, artinya bahan yang sudah terlanjur busuk, tidak akan menjadi segar kembali. Hanya dari bahan bermutu tinggi pula (dengan tetap mengingat proses pengolahannya, bagus atau tidak). Masing-masing cara pengawetan hanya efektif selama mekanisme pengawetannya masih bekerja. Ada banyak cara untuk mengawetkan makanan, yakni :

1. Menyimpan makanan pada suhu rendah (pada lemari es atau lemari beku) → dapat mengurangi kerusakan makanan dan memperlambat proses pelayuan. Suhu dingin juga membatasi tumbuhnya bakteri yang merugikan.
2. Penyimpanan dengan atmosfer terkendali (dengan kadar karbondioksida 1%-3%) → dapat memperlambat respirasi serta pembusukkannya dengan mengurangi tingkat oksigen dalam udara.
3. Mensterilkan dengan pemanasan → akan menunda pembusukan.






























BAB II
PENGAWETAN MAKANAN

A. Pengertian Pengawetan
Pengawetan makanan adalah cara yang digunakan untuk membuat makanan memiliki daya simpan yang lama dan mempertahankan sifat-sifat fisik dan kimia makanan. Dalam mengawetkan makanan harus diperhatikan jenis bahan makanan yang diawetkan, keadaan bahan makanan, cara pengawetan, dan daya tarik produk pengawetan makanan. Teknologi pengawetan makanan yang dikembangkan dalam skala industri masa kini berbasis pada cara-cara tradisional yang dikembangkan untuk memperpanjang masa konsumsi bahan makanan.
B. Tujuan Pengawetan
Sejak manusia dapat berbudidaya tanaman dan hewan, hasil produksi panen menjadi berlimpah. Namun bahan-bahan tersebut ada yang cepat busuk, makanan yang disimpan dapat menjadi rusak, misalnya karena oksidasi atau benturan. Contohnya lemak menjadi tengik karena mengalami reaksi oksidasi radikal bebas. Untuk menangani hal tersebut, manusia melakukan pengawetan pangan, sehingga bahan makanan dapat dikonsumsi kapan saja dan dimana saja, namun dengan batas kadaluarsa, dan kandungan kimia dan bahan makanan dapat dipertahankan. Selain itu, pengawetan makanan juga dapat membuat bahan-bahan yang tidak dikehendaki seperti racun alami dan sebagainya dinetralkan atau disingkirkan dari bahan makanan.
C. Cara Pengawetan
Cara pengawetan bahan makanan dapat disesuaikan dengan keadaan bahan makanan, komposisi bahan makanan, dan tujuan dari pengawetan. Secara garis besar ada dua cara dalam mengawetkan makanan, yaitu fisik serta biologi dan kimia.



a. Fisik
Pengawetan makanan secara fisik merupakan yang paling bervariasi jenisnya, contohnya adalah:
• Pemanasan. Teknik ini dilakukan untuk bahan padat, namun tidak efektif untuk bahan yang mengandung gugus fungsional, seperti vitamin dan protein.
• Pendinginan. Dilakukan dengan memasukkan ke lemari pendingin, dapat diterapkan untuk daging dan susu.
• Kering dingin.
• Pengasapan. Perpaduan teknik pengasinan dan pengeringan, untuk pengawetan jangka panjang, biasa diterapkan pada daging.
• Pengalengan. Perpaduan kimia (penambahan bahan pengawet) dan fisika (ruang hampa dalam kaleng).
• Pembuatan acar. Sering dilakukan pada sayur ataupun buah.
• Pengentalan dapat dilakukan untuk mengawetkan bahan cair
• Pengeringan, mencegah pembusukan makanan akibat mikroorganisme, biasanya dilakukan untuk bahan padat yang mengandung protein dan karbohidrat
• Pembuatan tepung. Teknik ini sangat banyak diterapkan pada bahan karbohidrat
• Irradiasi, untuk menghancurkan mikroorganisme dan menghambat perubahan biokimia
b. Biologi dan kimia
Pengawetan makanan secara biologi dan kimia secara umum ditempuh dengan penambahan senyawa pengawet, seperti :
• Penambahan enzim, seperti papain dan bromelin
• Penambahan bahan kimia, misalnya asam sitrat, garam, gula.
• Pengasinan, menghambat pertumbuhan mikroorganisme pembusuk makanan
• Pemanisan, menaruh dalam larutan dengan kadar gula yang cukup tinggi untuk mencengah kerusakan makanan
• Pemberian bahan pengawet, biasanya diterapkan pada bahan yang cair atau mengandung minyak. Bahan pengawet makanan ada yang bersifat racun dan karsinogenik. Bahan pengawet tradisional yang tidak berbahaya adalah garam seperti pada ikan asin dan telur asin, dan sirup karena larutan gula kental dapat mencegah pertumbuhan mikroba. Kalsium propionat atau natrium propionat digunakan untuk menghambat pertumbuhan kapang, asam sorbat menghambat pertumbuhan kapang dalam keju, sirup dan buah kering.
D. Prinsip Pengawetan
Prinsip pengawetan pangan ada tiga, yaitu:
• Mencegah atau memperlambat laju proses dekomposisi (autolisis) bahan pangan
• Mencegah kerusakan yang disebabkan oleh faktor lingkungan termasuk serangan hama
• Mencegah atau memperlambat kerusakan mikrobial. Bahan kimia yang digunakan sebagai pengawet juga diharapkan dapat mengganggu kondisi optimal pertumbuhan mikroba. Ditinjau secara kimiawi, pertumbuhan mikroba yang paling rawan adalah keseimbangan elektrolit pada sistem metabolismenya. Karena itu bahan kimia yang digunakan untuk antimikroba yang efektif biasanya digunakan asam-asam organik. Cara yang dapat ditempuh untuk mencegah atau memperlambat kerusakan mikrobial adalah :
1. Mencegah masuknya mikroorganisme (bekerja dengan aseptis)
2. Mengeluarkan mikroorganisme, misalnya dengan proses filtrasi
3. Menghambat pertumbuhan dan aktivitas mikroorganisme, misalnya dengan penggunaan suhu rendah, pengeringan, penggunaan kondisi anaerobik atau penggunaan pengawet kimia
4. Membunuh mikroorganisme, misalnya dengan sterilisasi atau radiasi
BAB III
DASAR – DASAR PENGAWETAN PENGGULAAN

A. Pendahuluan
Gula biasanya digunakan sebagai bahan pembuatan beraneka ragam produk makanan seperti selai, jeli, marmalad, sirup, buah-buahan bergula, dan sebagainya. Penambahan gula selain untuk memberikan rasa manis, juga berfungsi dan terlibat dalam pengawetan. Apabila gula ditambahkan ke dalam bahan pangan dalam konsentrasi yang tinggi (paling sedikit 40% padatan terlarut), maka sebagian air yang ada terikat oleh gula sehingga menjadi tidak tersedia untuk pertumbuhan mikroorganisme dan aktivitas air (aw) dari bahan pangan berkurang. Padahal mikroorganisme memiliki kebutuhan aw minimum untuk pertumbuhannya. Kemampuan gula untuk mengikat air itulah yang menyebabkan gula dapat berfungsi sebagai pengawet.
Perlu diketahui bahwa aktivitas air berbeda dengan kadar air. Bahan dengan kadar air yang tinggi belum tentu memiliki kadar air yang tinggi pula. Sebagai contoh sirup, yang memiliki kandungan air yang tinggi, tetapi aw-nya rendah karena sebagian air yang ada terikat oleh gula.

B. Faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan buah pada produk penggulaan
Beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam pemilihan buah untuk membuat produk penggulaan antara lain :
a. Kandungan pektin buah
Pektin adalah sejenis ’gula’ yang terdapat dalam sayuran dan buah-buahan. Pektin merupakan suatu koloid yang reversibel dan dapat larut dalam air, diendapkan, dipisahkan dan dikeringkan. Pektin berasal dari perubahan protopektin selama proses pemasakan buah, kadar pektin kurang dari 1 % cukup untuk membentuk struktur yang memuaskan. Penambahan gula akan mempengaruhi keseimbangan pektin air yang ada dan meniadakan kemantapan pektin. Pektin akan menggumpal dan membentuk suatu serabut halus, sruktur itu mampu menahan cairan. Makin tinggi kadar pektin makin padat struktur serabut tersebut. Makin tinggi gula makin berkurang air yang ditahan oleh sruktur.
Dalam buah-buahan kandungan pektin biasanya terdapat di bawah kulit buah, di sekitar hati buah (core), dan di sekitar biji buah. Tiap jenis buah mempunyai kandungan pektin yang berbeda. Stroberi, aprikot, peach, ceri, pir, anggur, nanas tergolong buah-buahan berkadar pektin rendah. Buah-buahan ini perlu dikombinasikan dengan buah-buahan berkadar pektin tinggi atau dibubuhi pektin komersial. Apel, plum, dan currant merah tergolong buah berkadar pektin tinggi dan tidak memerlukan tambahan pektin.
Pektin komersial dibedakan atas dua macam, yang berbentuk bubuk berwarna putih dan cairan. Pektin bubuk untuk sari buah yang ditambahkan dalam keadaan dingin, sedangkan pektin cairan ditambahkan dalam sari buah atau campuran gula yang mendidih. Pektin komersial biasanya dibuat dari buah apel pilihan, kulit jeruk, kulit dan hati apel sisa (dari limbah pengalengan apel). Dengan pemanasan pektin yang terkandung dalam buah akan terekstrak keluar. Pemanasan tidak boleh berlebih akan menyebabkan pektin menjadi rusak
b. Tingkat keasaman buah
Tingkat keasaman buah juga penting karena asam akan menarik sari pektin dari buah. Keasaman yang rendah menghasilkan pembentukan jel yang lemah dan mudah hancur. Buah yang kurang asam perlu ditambah dengan air jeruk lemon atau asam sitrun pada saat akan mulai dimasak. Namun, penambahan asam yang terlalu banyak akan menyebabkan keluarnya air dari jel yang terbentuk. Perpaduan gula, asam, dan pektin inilah yang karena dipanaskan membentuk jalinan (matriks) sehingga jeli, selai, dan produk olahan buah yang lain menjadi kental atau pekat.



C. Faktor- faktor yang mempengaruhi ketahanan produk penggulaan
Faktor-faktor yang mempengaruhi ketahanan selai dan produk-produk sejenisnya (jeli, marmalade, dan lain-lain) terhadap mikroorganisme adalah:
1. Kadar gula yang tinggi sekitar 65-73% padatan terlarut.
2. PH rendah, sekitar 3,1-3,5 tergantung pada tipe pektin dan konsentrasi.
3. Aw, berkisar antara 0,75-0,83.
4. Suhu tinggi selama pendidihan atau pemasakan (105-106 oC), kecuali jika diuapkan secara vakum dan dikemas pada suhu rendah.
5. Tegangan oksigen rendah selama penyimpanan (misalnya jika diisikan ke dalam wadah-wadah hermetik dalam keadaan panas).

D. Macam-macam pengawetan dengan proses penggulaan
a. Selai
Selai atau jam adalah produk makanan yang kental atau setengah padat yang dibuat dari campuran 45 bagian berat buah dan 55 bagian berat gula. Selai termasuk dalam golongan makanan semi basah berkadar air sekitar 15 – 40% dengan tekstur yang lunak dan plastis. Pengertian yang lain adalah produk makanan yang terbuat dari lumatan daging buah-buahan dicampur dengan gula dengan perbandingan 3 : 4. Campuran ini kemudian dipanaskan dengan suhu tertentu hingga mencapai kekentalan tertentu. Kadar kekentalan atau padatan terlarut (soluble solid) diukur dengan refraktometer. Untuk selai yang terbuat dari buah anggur, jeuk, nanas, stroberi dan sejenisnya, kadar kekentalannya tidak kurang dari 68% dan untuk selai dari apel tidak kurang dari 65%.
Gula yang ditambahkan berfungsi selain sebagai penambah cita rasa, juga berfungsi sebagai pengawet. Perbandingan gula dengan buah harus tepat. Jika terlalu sedikit gula, buah-buahan tidak akan matang sempurna dan akibatnya selai menjadi mudah berfermentasi dan tidak tahan lama. Sebaliknya jika terlalu banyak gula, selai akan menjadi terlalu kental dan membentuk kristal. Tujuan utama pembuatan selai adalah memanfaatkan buah-buahan segar semusim yang berlimpah hingga tetap dapat dinikmati setiap saat. Jenis buah untuk pembuatan selai adalah buah yang mengandung pektin dan asam yang cukup untuk menghasilkan selai berkualitas baik. Buah yang dapat digunakan antara lain sirsak, nanas, srikaya, stroberi, pepaya, tomat, durian, dan mangga. Untuk memperoleh selai dengan aroma baik sebaiknya digunakan buah dengan tingkat kematangan yang tinggi (benar-benar matang).
Pengolahan selai buah dapat juga menggunakan campuran buah setengah matang dengan buah yang benar-benar matang. Buah setengah matang akan memberi pektin dan asam yang cukup yang dapat memperbaiki konsistensi selai yang dihasilkan, sedangkan buah yang matang penuh akan memberikan aroma yang diinginkan. Untuk mengetahui kandungan pektin pada buah-buahan dapat dilakukan dengan tes alkohol. Buah yang akan diuji diperas air buahnya, selanjutnya ditambah 3 – 4 sendok alkohol ke dalam 1 sendok sari buah. Jika pada campuran banyak terdapat gumpalan kental maka kandungan pektin pada buah tersebut tinggi. Jika gumpalan yang terbentuk sedikit atau agak cair berarti kandungan pektinnya sedikit. Hal lain yang harus diperhatikan dalam pembuatan jam adalah waktu pemasakan jangan terlalu lama, selai atau jam yang dihasilkan akan keras dan terbentuk kristal gula (kadar gula terlalu tinggi > 68 %). Sedangkan bila waktu pemasakan terlalu singkat selai atau jam masih encer sehingga jam tidak dapat dioleskan.
Selain buah, dapat juga digunakan kacang tanah sebagai bahan baku selai. Kacang tanah yang digunakan adalah kacang tanah berkualitas, tidak busuk, memiliki rasa dan bau yang khas, serta bersih dari kotoran. Sebelum diolah menjadi selai, kacang tanah disangrai dan kulitnya dikupas terlebih dahulu. Selai yang bermutu baik mempunyai ciri-ciri tertentu, yakni konsisten, warna cemerlang, distribusi buah merata, tekstur lembut, flavor buah alami, tidak mengalami sineresis (keluarnya air dari gel) dan kristalisasi selama penyimpanan.

b. Jelly
Jelly adalah produk yang hampir sama dengan selai. Kadar padatan terlarutnya tidak kurang dari 65%. Kadar gula optimum yang dapat ditambahkan setelah dipanaskan adalah 65-68 %. Jika lebih dari itu hasil yang akan diperoleh terbentuk kristal sedangkan bila kadar gula terlalu rendah konsistensi jelly menjadi lemah. Karena terbuat dari sari buah-buahan, jeli bersifat jernih, transparan, bebas dari serat dan bahan lain. Jika dikeluarkan dari kemasan tampak seperti agar-agar, lembut, kukuh, dan dapat dengan mudah dikerat dengan pisau. Kandungan pektin sangat penting terutama dalam pembuatan jeli. Untuk itu banyak digunakan pektin komersial. Pendidihan atau pengentalan merupakan tahap penting dalam pembuatan jelly. Pengentalan yang terlalu lama dapat menyebabkan pektin terhidrolisis, penguapan asam dan kehilangan cita rasa serta warna. Pengentalan dihentikan dengan cara identifikasi menggunakan alat refraktometer. Cara lain adalah dengan mencelupkan garpu kedalam cairan yang dimasak kemudian diangkat, cairan tersebut padat dan tidak jatuh.

c. Marmalade
Marmalade adalah produk buah-buahan dengan menjadikannya bubur buah ditambah gula dan asam dengan konsentrasi tertentu dan diberi irisan kulit jeruk/potongan buah yang menjadi ciri khas produk ini dan mengalami pengentalan dengan pemanasan. Seperti pada pembuatan selai dan jeli, faktor pektin, kadar gula, dan asam juga harus diperhatikan sehingga dapat dihasilkan marmalade bermutu baik. Untuk buah yang terlalu banyak seratnya, sebagian bubur disaring untuk mendapatkan sari buah dan dicampur dengan setengah bagian bubur buah lainnya.

d. Manisan Buah
Manisan buah adalah produk buah-buahan yang diolah dengan menambahkan gula dalam konsentrasi tinggi sehingga dapat mengawetkan buah-buahan tersebut. Manisan buah ada dua jenis, yaitu:
1. Manisan buah basah
Manisan buah basah adalah manisan buah yang masih mengandung air gula. Untuk membuat manisan buah basah, setelah dikupas buah direndam dalam larutan garam kemudian dimasukkan ke dalam larutan gula dan ditiriskan.
2. Manisan buah kering
Manisan buah kering tidak mengandung air gula lagi. Untuk membuat manisan kering, setelah buah direndam dalam larutan gula selama semalam, buah ditiriskan lalu ditaburi gula pasir dan dikeringkan dengan cara dijemur di bawah terik matahari. Lamanya menjemur biasanya 3 hari dan tiap hari ditaburi kembali dengan gula pasir. Daya awet manisan buah kering lebih lama dibandingkan manisan buah basah karena manisan buah kering lebih rendah kadar airnya dan lebih tinggi kandungan gulanya. Perendaman dalam larutan kapur beberapa saat dilakukan untuk membuat manisan tetap renyah. Hal ini disebabkan oleh kalsium yang masuk ke dalam jaringan buah.
Buah setelah dikupas akan berubah warna menjadi coklat atau kehitaman. Hal ini disebabkan oleh reaksi kimia dari asam pada buah dengan udara yang dikenal dengan reaksi pencoklatan (browning enzimatis). Untuk menghindari hal tersebut, buah yang sudah dikupas sesegera mungkin direndam dengan air garam yang dapat melindungi buah dari reaksinya dengan udara. Reaksi pencoklatan lebih lanjut dari buah yang sudah direndam dalam larutan gula biasanya dilakukan proses sulfuring. Proses ini bertujuan untuk mempertahankan warna dan cita rasa, asam askorbat (vitamin C) dan vitamin A. Selain itu sebagai bahan pengawet kimia untuk menurunkan atau menghindari kerusakan oleh jasad renik sehingga dapat mempertahankan mutu manisan selama penyimpanan.
Senyawa-senyawa kimia yang dapat digunakan dalam proses sulfuring adalah sulfur dioksida, senyawa-senyawa sulfit, bisulfit, dan metabisulfit. Proses sulfuring dilakukan sebelum buah dibuat manisan dengan uap sulfur dioksida atau dengan cara perendaman dalam larutan sulfur dioksida atau sulfit. Batas maksimum penggunaan sulfur dioksida dalam makanan yang dikeringkan adalah 2000 sampai 3000 mg setiap kg manisan buah. Manisan buah termasuk jenis makanan yang awet karena larutan gula pekat memiliki tekanan osmotik tinggi. Konsentrasi gula yang dibutuhkan untuk mencegah pertumbuhan mikroorganisme bervariasi, tergantung dari jenis jasad renik dan kandungan zat-zat yang terdapat dalam makanan. Pada umumnya larutan gula 70% akan menghentikan pertumbuhan seluruh jasad renik dalam makanan. Buah yang dibuat untuk manisan sebaiknya yang masih muda atau mengkal karena tidak banyak mengandung gula sehingga akan menghasilkan manisan yang baik kecuali untuk buah salak dan buah atap. Untuk kedua jenis buah ini lebih baik dalam keadaan matang.

e. Buah dalam sirup
Buah dalam sirup adalah suatu produk olahan buah-buahan yang dibuat melalui proses blansir, dimasukkan ke dalam wadah steril ditambah larutan gula 40%, diexhausting, ditutup rapat, disterilisasi, dan dilewatkan di air dingin. Produk ini dapat disimpan lebih lama karena telah melalui proses sedemikian rupa. Cara mensterilkan tempat/wadah/ kaleng adalah dengan memanaskan atau merebus wadah selama 30 menit pada suhu 100- 121oC. Proses blansir dilakukan dengan mencelupkan buah dalam air panas/merendam dalam larutan kimia dengan maksud menghilangkan udara dari jaringan buah yang akan diolah dan mengurangi terbentuknya endapan. Tujuan lain adalah mengurangi jumlah mikroorganisme, mempermudah pengisian dalam wadah, serta menonaktifkan enzim yang menyebabkan perubahan warna menjadi coklat.
Setelah diblansir, buah disusun rapi dalam wadah lalu dituang sirup gula sampai batas 1-2 cm dari bawah tutup wadah. Sebelum ditutup dilakukan exhausting dengan cara memanaskan kaleng dan isinya dengan merebus sampai suhu bagian tengah kaleng mencapai 80oC selama 5 menit. Exhausting adalah kegiatan untuk mengurangi tekanan dalam wadah yang disebabkan karena pengembangan pada waktu proses pemanasan. Tanpa proses exhausting, buah yang dikalengkan akan hancur setelah pemanasan akibat tekanan yang terlalu tinggi. Setelah exhausting, wadah langsung ditutup rapat dan dilanjutkan sterilisasi kira-kira 30 menit pada suhu 100oC. Setelah sterilisasi, wadah segera didinginkan dengan air mengalir. Buah dalam sirup yang dikalengkan dapat disimpan sampai satu tahun. Jenis buah-buahan yang sering dikalengkan adalah rambutan, leci, pisang, jambu biji, nanas, apel, pir, dan mangga. Kadang-kadang dalam satu kaleng bisa ditemukan campuran buah. Selain buah, juga terdapat larutan gula sebagai media, umumnya berkadar 40%. Dalam pembuatan sirup gula ditambahkan sedikit asam sitrat untuk menambah rasa.

f. Sirup
Sirup adalah sejenis minuman ringan berupa larutan gula kental dengan cita rasa beraneka ragam. Berbeda dengan sari buah, penggunaan sirup tidak langsung diminum tetapi harus diencerkan dulu karena kandungan gula dalam sirup tinggi, sekitar 65%. Untuk menambah rasa dan aroma, sering ditambah rasa, pewarna, asam sitrat, atau asam tartarat.
Berdasarkan bahan baku utamanya, sirup dibedakan menjadi:
1. Sirup essence adalah sirup yang cita rasanya ditentukan oleh essence yang ditambahkan, misalnya essence jeruk, mangga, nanas, dan sebagainya.
2. Sirup glukosa, hanya mempunyai rasa manis saja, sering disebut gula encer. Sirup ini biasanya tidak langsung dikonsumsi, tapi lebih merupakan bahan baku industri minuman, sari buah, dan lain-lain. Sirup glukosa dapat dibuat dari tepung kentang, tepung jagung, tepung beras, dan lain-lain.
3. Sirup buah adalah sirup yang cita rasanya ditentukan oleh bahan dasarnya yaitu buah segar, misalnya jambu biji, markisa, nanas, dan sebagainya.

g. Produk Lainnya
1. Conserves
Conserves adalah produk yang dibuat dari campuran buah-buahan termasuk buah jeruk dan seringkali ditambahkan kacang dan kismis hingga menjadi lebih padat dari selai.
2. Preserves
Preserves merupakan buah kecilkecil yang utuh atau potonganpotongan buah yang besar yang dimasak dengan sirup hingga jernih lalu ditambahkan sirup atau sari buah yang kental.
3. Mentega buah (fruit butter)
Mentega buah terbuat dari daging buah, dimasak hingga menjadi sangat halus dan lunak lalu dibubuhi bumbu-bumbu. Mentega buah ini paling sedikit mengandung gula dibandingkan produk lainnya.
4. Madu buah (fruit honey)
Madu buah sekilas tampak seperti madu. Madu buah dibuat dari pekatan sari buah yang dimasak hingga mencapai kekentalan seperti madu.
















DAFTAR PUSTAKA
Sri R. Dwiari, dkk. Teknologi Hasil Pangan. Jakarta: Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional, 2008.
http://www.wikipedia.com/pengawetan-pangan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar